Senin, 23 Januari 2012

“THINKING CLASSROOM”
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH
Jozua Sabandar
Abstrak
Dalam belajar matematika orang harus berpikir, karena itu peserta didik harus difasilitasi agar mereka mau berpikir. Mathematical thinking classroom perlu dirancang agar proses berpikir dapat dipicu dan berkembang lewat adanya masalah matematika yang menantang dan tidak rutin sehingga peserta didik memiliki kebiasaan berpikir yang memadai dan memiliki ketrampilan berpikir yang memampukan mereka untuk menjadi kritis, kreatif dan reflektif. Guru berperan sebagai sutradara/disainer, fasilitator serta aktor yang efisien dan efektif dalam mathematical thinking classroom
Kata kunci: Mathematics thinking classroom, kritis, kreatif, reflektif
Pendahuluan
Belajar matematika berkaitan erat dengan aktivitas dan proses belajar dan berpikir. Hal tersebut bertalian erat dengan karakteristik matematika sebagai suatu ilmu dan human activity, yaitu bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logis, yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat. Oleh karena itu, tanpa meningkatkan dan mengandalkan pembelajaran matematika yang berkualitas yang menuntun siswa agar mau berpikir, akan sangat sulit untuk dapat tercapai kemampuan berpikir agar menghasilkan sebuah hasil prestasi belajar matematika yang baik. Dalam belajar matematika, hal ini tentu bukan suatu hal yang sederhana. Aktivitas dan proses berpikir akan terjadi apabila seorang individu berhadapan dengan suatu situasi atau masalah yang mendesak dan menantang serta dapat memicunya untuk berpikir agar diperoleh kejelasan dan solusi atau jawaban terhadap masalah yang dimunculkan dalam situasi yang dihadapinya.
Mengapa kemampuan berpikir perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika di kelas ataupun di luar kelas? Ada sementara orang (guru) yang
menganggap bahwa sudah cukup dengan mengajarkan rumus-rumus matematika dan dilanjutkan dengan meminta siswa mengahafalnya, agar nanti dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah. Anggapan seperti ini secara langsung mengurangi kesempatan bahkan meniadakan kesempatan bagi siswa untuk berlatih berpikir dalam pembelajaran matematika.
Paling sedikit, secara umum, ada beberapa alasan yang berkaitan dengan pentingnya kehadirian proses berpikir dalam proses pembelajaran matematika yang dapat menjadi pedoman dalam memunculkan jawaban terhadap pertanyaan di atas. Jawab terhadap pertanyaan tersebut antara lain: terdapat tuntutan dalam kurikulum yang berlaku untuk dicapainya kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif agar nantinya individu dapat menjawab tuntutan dalam rangka menyesuaikan diri dengan perkembangan peradaban, serta tuntutan dalam perbaharuan tentang standardisasi instrumen-instrumen tes yang mengukur kapasitas siswa secara aktif dalam mengaplikasikan pengetahuan. Juga terdapat perubahan pandangan mengenai tujuan pendidikan bahwa kemampuan berpikir harus menjadi tujuan yang penting dan utama dalam proses pembelajaran. Begitu juga terdapat fakta yang memaparkan bahwa pembelajaran yang monoton dengan cara tradisional tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa secara optimal, terdapatnya pandangan bahwa proses berpikir yang baik akan mengantarkan seseorang pada pemahaman yang lebih mendalam di berbagai disiplin ilmu, pandangan bahwa kecerdasan dapat dipelajari, sehingga tentu dapat pula diajarkan. Kajian secara mendalam dari ulasan-ulasan tersebut dapat ditemukan pada situs: http://learnweb.harvard.edu/ALPS/thinking/intro.cfm.
Alasan utama yang lainnya terkait dengan paradigma bahwa efektifitas proses pembelajaran berkaitan erat dengan prinsip pembelajaran student-centered learning dan self-regulated learning, bahwa dalam kegiatan belajar siswa harus menjadi individu yang aktif dalam membentuk pengetahuan, dapat menentukan sendiri proses belajarnya, memilih pengalaman belajar serta pengetahuan utama yang ingin dicapainya. Selain itu, terdapat pandangan bahwa pembelajaran dikatakan efektif adalah ketika siswa dapat lebih berkembang dengan memanfaatkan informasi yang telah diterima atau dikenal dengan istilah “Going beyond the information given”, misalnya melihat di balik apa yang tertulis, sehingga siswa dapat menggunakan pengetahuan yang baru secara aktif untuk
mengkonstruksi makna (Bruner, 1973). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada proses pembelajaran yang efektif, siswa tidak sekadar menjadi penerima informasi yang pasif melainkan harus berpikir kritis dan kreatif tentang topik yang dipelajari. Pada kesempatan seperti ini siswa berkesempatan memberdayakan apa yang telah diketahuinya, sehingga pengetahuan ysng telah dimilikinya berkesempatan untuk disegarkan.
Selain alasan-alasan umum yang dikemukakan di atas, secara khusus mengembangkan kemampuan berpikir mutlak diperlukan dalam kelas matematika yang mana matematika memiliki karakteristik sebagai suatu cabang ilmu yang objek kajiannya bersifat abstrak serta berkaitan dengan pola berpikir. Matematika bukan hanya sekumpulan rumus saja atau kegiatan berhitung semata, melainkan matematika juga adalah suatu ilmu yang memiliki objek kajian berupa ide-ide, gagasan-gagasan serta konsep yang abstrak serta hubungan-hubungannya, yang pengembangannya terangkai dalam suatu proses yang terstruktur dan logis dengan menggunakan istilah-istilah dan simbol-simbol khusus. Dengan karakteristik seperti ini suatu konsep matematika harus dikenalkan kepada siswa melalui serangkaian proses berpikir, dan bukan dikenalkan sebagai suatu produk jadi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran matematika. Siswa yang telah belajar matematika diharapkan bukan hanya menghafal rumus dan prosedur untuk menyelesaikan soal-soal matematika saja namun memiliki pemahaman dan kemampuan berpikir yang logis dan baik yang terintegrasi atau menyatu menjadi bagian dalam diri siswa dan kelak dapat berguna dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan siswa tersebut.
Untuk itu diperlukan upaya guru secara sengaja agar terwujud dan tercipta suasana pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk dapat mengalami proses berpikir dalam belajar matematika di kelas. Suatu kelas yang potensial dalam mengembangkan kemampuan berpikir matematika ini, dikatakan sebagai suatu kelas yang berpikir atau “ Mathematical Thinking classroom”. Uraian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana menciptakan suatu “Thinking classroom” dalam pembelajaran matematika. Diharapkan dengan cara mengkaji tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menciptakan ”Thinking classroom” dapat menjadi suatu referensi serta wacana bagi para praktisi pendidikan matematika dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran agar lebih efektif dan efisien dan hasil belajar matematika menjadi lebih baik.
Pembahasan
1. Thinking Classroom
Istilah ”Thinking Classroom” dapat diartikan sebagai sebuah kelas yang berpikir atau suatu kelas yang difasilitasi sedemikan rupa dengan kegiatan belajar yang mengutamakan proses berpikir. Dalam suatu kelas yang berpikir kualitas pembelajaran matematika, antara lain bergantung pada seberapa baik siswa dan guru memahami tentang apa yang sedang dan harus mereka lakukan/kerjakan. Dalam hal ini aspek yang terkait dengan konsep ”Thinking Classroom” berhubungan dengan belief bahwa dalam belajar seseorang harus mengalami proses berpikir yang baik, serta proses berpikir yang baik dapat dipelajari oleh seluruh siswa, dan adanya keyakinan bahwa pembelajaran harus melibatkan pemahaman yang mendalam serta menggunakan pengetahuan yang baru secara aktif dan fleksibel.
Berkaitan dengan hal tersebut maka peran guru dalam proses pembelajaran memegang kunci utama agar proses berpikir siswa dapat berlangsung dengan baik di dalam kelas. Dalam hal ini peran guru dapat dipandang sebagai seorang sutradara yang mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan perangkat pembelajaran di kelas sekaligus sebagai seorang aktor yang berperan langsung dalam proses pembelajaran di kelas. Sebagai seorang sutradara pembelajaran yang baik, guru harus memiliki kompetensi yang baik dalam bidangnya, menguasai berbagai model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaran serta dapat memahami konten kurikulum untuk diaplikasikan. Sedangkan sebagai seorang aktor ketika proses pembelajaran berlangsung, guru harus dapat memberi respon yang tepat terhadap setiap tindakan siswa di dalam kelas. Guru harus selalu siap dengan tindakan-tindakan spontan siswa di dalam kelas yang pada awalnya tidak diantisipasi akan muncul pada saat penyusunan skenario pembelajaran. Secara keseluruhan guru harus dapat menyusun dan membangun suatu situasi yang kondusif agar proses berpikir berjalan dengan baik pada proses pembelajaran.
Dalam kelas diperlukan adanya situasi-situasi dan masalah-masalah yang menantang namun menarik sehingga dapat menimbulkan rasa ingin tahu sekaligus memicu siswa untuk mau berpikir. Situasi dan masalah ini haruslah dipersiapkan atau diciptakan oleh guru. Namun pada saat yang sama guru harus siap untuk mengantisipasi
berbagai masalah yang dapat terjadi di kelas untuk menjamin keberlangsungan proses berpikir siswa. Hal ini dikarenakan bahwa dapat saja terjadi suatu situasi yang sulit pada saat siswa tidak dapat berpikir karena kurangnya informasi atau kurangnya pemahaman konsep yang dapat membantu mereka untuk tetap berpikir. Beberapa hal yang harus dicermati oleh guru agar dapat tercipta suatu situasi yang mendukung berhasilnya proses pembelajaran, diantaranya guru harus mampu:
• Menterjemahkan dokumen kurikulum ke dalam praktik pembelajaran di kelas dengan tepat.
• Menciptakan bahan ajar yang memungkinkan tersedianya cukup banyak celah bagi siswa untuk berpikir, sehingga siswa tidak sekadar menerima informasi yang sudah jadi dan menghafal saja.
• Memahami dan menguasai berbagai model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaran yang dapat memicu berlangsungnya proses berpikir di dalam kelas.
• Menyusun seperangkat alat ukur dan alat evaluasi yang dapat mengukur kemampuan berpikir setiap siswa
• Membuat Learning tasks yang dapat memicu perilaku kritis dan kreatif siswa
• Memiliki kemampuan bertanya yang baik untuk dapat membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan membantu siswa untuk mau terlibat dalam suatu situasi berpikir yang baik
• Mengantisipasi dan siap dengan respons-respons untuk memfasilitasi siswa manakala siswa mengalami hambatan dalam proses berpikir.
• Mengantisipasi akan terdapatnya perbedaan pendapat siswa.
• Menyiapkan reward pada siswa untuk menghargai usaha siswa
Thinking classroom juga terkait erat dengan thinking curriculum. Kurikulum harus dirancang oleh guru sedemikian agar dapat memberi kesempatan terjadinya dan berlangsungnya proses berpikir. Kurikulum merupakan dasar bagi proses pembelajaran yang diharapkan berlangsung dengan berkualitas di kelas. Guru harus mampu menterjemahkan konten kurikulum menjadi sebuah skenario pembelajaran sehingga
memunculkan suatu situasi yang berpotensi memicu siswa untuk berpikir. Bahkan akan lebih baik jika situasi yang timbul tersebut dapat “memaksa” siswa untuk berpikir sekalipun mereka tidak ingin berpikir. Hal ini berarti bahwa peran guru baik sebagai seorang “sutradara” maupun “aktor” dalam proses pembelajaran merupakan peran yang tidak dapat dipisahkan. Kedua peran tersebut harus saling bersinergi untuk menciptakan suatu kelas yang kondusif bagi siswa untuk dapat berpikir.
Sebagai fasilitator guru siap dan bertanggungjawab untuk menciptakan suasana atau situasi yang memungkinkan terjadinya proses berpikir pada diri siswa. Dengan kata lain, guru harus dapat memfasilitasi siswa untuk berpikir. Kegiatan berpikir di dalam kelas tidak terlepas jauh dari aktivitas berpikir kreatif dan berpikir kritis seperti yang diungkapkan pada situs http://learnweb.harvard.edu/ALPS/thinking/intro.cfm.
2. Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika
Untuk mewujudkan suatu situasi yang potensial untuk siswa berpikir tersebut perlu diperhatikan aspek yang cukup signifikan, yaitu belief dari seorang guru tentang matematika. Belief dari siswa tentang matematika secara otomatis akan sangat bergantung pada belief seorang guru, karena belief seorang guru akan berpengaruh pada proses pembelajaran yang berlangsung. Belief ini akan berkaitan dengan aktivitas dan proses belajar matematika di dalam kelas. Belief tersebut secara tersirat akan mewarnai implementasi berbagai ide, pemikiran serta tugas yang guru sediakan kepada siswa.
Matematika yang diajarkan di kelas bertujuan agar tercapai hasil belajar siswa dalam bentuk kompetensi-kompetensi matematika, yaitu kemampuan koneksi, komunikasi, penalaran, pemecahan masalah, representasi matematika. Dalam keseluruhan kompetensi ini, terintegrasi kemampuan pemahaman matematika. Seluruh kompetensi tersebut merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dalam matematika serta merupakan bagian integral dari aktivitas dan proses berpikir dalam pembelajaran matematika.
Matematika dimunculkan dari berbagai fenomena, situasi yang sederhana yang kemudian memunculkan masalah atau pertanyaan yang dalam upaya mencari solusinya
dijalani suatu proses informal untuk kemudian mengalami proses penyempurnaan dan berakhir dengan suatu hal yang bersifat general dan formal. Atau dapat pula dikatakan matematika berawal dari suatu upaya menjawab suatu pertanyaan yang didekati dan diselesaikan dengan cara yang tidak formal dan selanjutnya menjadi formal, sesuatu yang belum terstruktur menjadi sesuatu yang terstruktur atau dari suatu proses induktif menuju proses deduktif. Misalnya, penggunaan berbagai model terhadap situasi dalam menuju pada matematika yang formal merupakan suatu yang esensial. Artinya, model dapat dipandang sebagai suatu alat atau jembatan (Gravemeijer, 1994 ) yang menghubungkan bagian konkret ataupun informal dengan bagian abstrak atau bagian formal, misalnya rumus atau teorema. Keberagaman model yang dapat bertransisi dari konkrit, semi konkrit sampai ke model abstrak adalah ciri dari perjalanan matematika dari suatu situasi yang pada awalnya tidak terstruktur kemudian menjadi sesuatu yang terstruktur dan formal. Hal ini dapat dipahami karena seringkali kesulitan orang dalam mempelajari matematika dikaitkan dengan apa yang dipandang sebagai suatu gap (jurang) diantara kehidupan (pengalaman) kesehariannya dengan apa yang dikenal sebagai matematika formal (Gravemeijer, 1999).
Seorang yang belajar matematika diharapkan dapat berkembang menjadi individu yang mampu berpikir kritis dan kreatif untuk menjamin bahwa dia berada pada jalur yang benar dalam memecahkan persoalan matematika yang dihadapi atau materi matematika yang sedang dipelajarinya, serta menjamin kebenaran proses berpikir yang berlangsung. Dengan senantiasa menjadi individu kritis dalam mempelajari matematika, seseorang akan terpicu menjadi kreatif, karena untuk mendapatkan kejelasan atau membedakan antara yang benar dan yang salah (Schneider, 1999) sehingga ia akan berusaha mencari solusi dengan menggunakan berbagai strategi alternatif. Berpikir kritis menuntut adanya usaha serta memerlukan adanya rasa peduli tentang keakurasian dan adanya kemauan dan tidak mudah menyerah (ngotot) ketika menghadapi tugas yang sulit (Sternberg, Roediger, dan Halpren, 2007). Demikianpun, dari orang yang berpikir kritis ini diperlukan adanya suatu sikap keterbukaan terhadap ide-ide baru. Memang hal ini bukan suatu yang mudah, namun harus dan tetap dilaksanakan dalam upaya mengembangkan kemampuan berpikir.
Berpikir kritis dalam matematika dapat diinterpretasi dalam berbagai cara. Beberapa ahli memandang berpikir kritis sebagai suatu indra evaluatif yang digunakan untuk menentukan kualitas suatu keputusan atau argumen. Pandangan lain, berpikir kritis sebagai suatu indera generatif yang menekankan pada kreativitas dan keaslian dalam mendesain suatu produk atau menciptakan solusi dari suatu masalah. Sedangkan, menurut Glazer (2001) yang dimaksud dengan berpikir kritits dalam matematika adalah kemampuan dan disposisi untuk melibatkan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematis, dan strategi kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan atau mengevaluasi situasi matematis yang kurang dikenal dalam cara yang reflektif.
Seluruh aspek-aspek yang dijelaskan di atas haruslah terakomodasi dengan baik dalam suatu proses pembelajaran matematika yang dikemas secara sengaja dan terencana dengan baik oleh guru. Gurupun harus dapat mengantisipasi keadaan yang dapat muncul ketika menggiring siswa untuk berpikir, dimana guru dapat menyiasati bagaimana menjaga agar proses berpikir matematika tetap berlangsung dan berlanjut.
Ketika proses berpikir sudah berlangsung dalam kelas, guru hendaknya tetap merupakan bagian sentral dalam kegiatan yang mengedepankan aktivitas berpikir matematika siswa. Guru hendaknya tidak lengah karena ia perlu memerhatikan proses berpikir ini jangan sampai terhenti sama sekali atau keluar jalur terlalu jauh. Untuk itu diperlukan peran guru sebagai seorang fasilitator. Hal ini juga diperlukan ketika siswa yang karena alasan tertentu terpaksa terhambat atau berhenti berpikir, misalnya karena mengalami kesulitan ataupun ketika siswa mengalami bermacam konflik kognitif. Jika hal ini dibiarkan siswa akan kehilangan minat berpikir, dan usaha membangun suasana berpikir sejak awal lalu menjadi sia-sia.
Beberapa hal yang dipandang perlu dikuasai dan dilakukan oleh guru sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan tidak terjadinya atau terhambatnya proses berpikir ini adalah penggunaan teknik-teknik berikut:
1. Teknik prompting
2. Teknik probing
3. Teknik Scafolding
4. Teknik cognitive conflict
5. Antisipasi kesulitan yang mungkin muncul.
Keempat teknik pertama tadi dapat dikategorikan sebagai cognitive intervention yang bisa dilakukan guru, baik diminta ataupun tidak agar proses berpikir dapat tetap berlangsung.
3. Berpikir dalam Pembelajaran Matematika
Berpikir dalam matematika diharapkan menghasilkan beberapa kemampuan. Berdasarkan tingkatannya, kemampuan berpikir dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu reproduksi, koneksi, dan analisis (Shafer, Foster, 1997). Dalam tingkatan reproduksi individu mendemonstrasikan kemampuan mengenal/mengetahui fakta dasar, menggunakan algoritma, dan mengembangkan ketrampilan teknis. Kemampuan ini umumnya dijumpai dalam diri banyak siswa, misalnya dalam bentuk menghafal dan menggunakan rumus atau teorema. Pada tingkat koneksi, individu dapat mendemonstrasikan kemampuan untuk mengintegrasi informasi, membuat keterkaitan diantara konsep-konsep matematika, memilih rumus/strategi yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan suatu masalah matematika, mencari solusi terhadap masalah yang non rutin. Sedangkan pada tingkat analisis, siswa dapat melakukan matematisasi, menganalisis (perbandingan, perbedaan dan analogi), melakukan interpretasi, mengembangkan model dan strategi sendiri, mengemukakan argumentasi ataupun bernalar secara logis, menemukan pola umum, konjektur serta membuat generalisasi secara formal, misalnya melakukan pembuktian.
Ditinjau dari proses, dapat dikatakan bahwa berpikir secara matematis diawali oleh adanya suatu pertanyaan, bagaimana merespons/menjawab pertanyaan itu secara efektif, dan selanjutnya bagaimana kita belajar dari pengalaman ketika sedang berusaha untuk mencari penyelesaian terhadap pertanyaan tersebut (Mason, Burton, Stacey 1996). Dapat juga dikatakan bahwa tahap berpikir ini pada umumnya melalui tiga fase, yaitu memahami konteks dan permasalahan (apa yang sesungguhnya diketahui dan apa yang ditanyakan, memilih strategi atau prosedur yang mungkin), keputusan untuk menggunakan ide/strategi tertentu untuk mencari
solusi yang bisa saja tidak berhasil. Dalam hal ini individu harus kembali ke fase awal dan memikirkan strategi yang baru. Selanjutnya pada tahap berikut, setelah solusi ditemukan, suasana hati dari individu yang bersangkutan lalu berubah, untuk memeriksa kembali hasil perkerjaan agar yakin tidak terdapat kesalahan yang dibuat, ataupun dapat menyelesaikan soal tersebut dengan cara lain, misalnya lebih singkat. Hal ini dilanjutkan dengan melakukan refleksi terhadap apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan, misalnya apakah strategi yang berhasil tadi dapat diterapkan dalam situasi serupa, dan mempersiapkan untuk perluasan terhadap masalah untuk level yang lebih kompleks (Tall, 2002). Hal ini menggambarkan bahwa proses berpikir sesungguhnya tidak harus berakhir ketika jawaban diperoleh terhadap suatu masalah yang memerlukan pemikiran itu. Ini menandakan adanya suatu proses yang berkembang secara berkesinambungan sehingga menuju ke ketuntasan belajar (Sabandar, 2008). Artinya situasi dan masalah (tertanyaan) tersebut dapat dilihat dengan cara lain, atau diselesaikan dengan menggunakan konsep dan cara yang berbeda, ataupun apa yang sudah dihasilkan itu dapat direvisi dengan cara yang detail dan terstruktur dengan lebih baik lagi sehingga menjadi lebih jelas jika individu ingin membaca atau ingin mempelajarinya secara lebih detail.
Contoh dari proses yang diuraikan tadi dapat dijumpai dalam suatu situasi seperti berikut ini.
Ketika seorang mahasiswa dihadapkan pada suatu situasi atau masalah seperti berikut; bagaimana dia membagi sebuah segitiga sembarang atas tiga bagian yang sama luasnya. Pada tahap entry ia mulai mencerna/mengkaji permasalahan tersebut, melihat unsur-unsur yang diketahui berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai. Situasi ini mengindikasikan bahwa pebelajar berada pada fase reproduksi dari proses berpikir menurut Shafer dan Foster, yaitu mengenal fakta-fakta dasar. Selanjutnya ia tentu mulai memikirkan strategi yang mungkin ia digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut serta langkah-langkah awal yang harus dilakukan. Misalnya, ia berhasil menyelesaikan masalah tersebut dengan mudah, yaitu dengan cara membagi sisi BC dari ABC atas tiga ruas garis yang sama panjang oleh D dan E, kemudian membuat daerah-daerah segitiga baru yang merupakan bagian dari segitiga semula dengan menghubungkan D dan E dengan A yaitu titik sudut yang berada tepat Δ
dihadapan sisi BC tersebut. Maka terbentuk tiga daerah segitiga baru dengan luas yang sama. Hal ini dapat dengan mudah dan cepat dilakukan dengan memanfaatkan software geometri dinamis Geometers’ Sketchpad. Berikut ilustrasinya
ABCEDArea(Polygon ADI) = 30.0 square cmArea(Polygon ADE) = 30.0 square cmArea(Polygon AEC) = 30.0 square cm
Pada saat ia menentukan strategi maka ia mulai melakukan tindakan attact, memasuki fase kedua dalam berpikir, yaitu connection, mencoba menghubungkan konsep garis berat dengan konsep luas segitiga serta membuat keputusan untuk menggunakan srategi tertentu yang sudah dipertimbangkan mungkin digunakan untuk menyelesaikan masalah serta memilih alat bantu berupa yang tepat yaitu software geometri dinamis Geometers’ Sketchpad (GSP) mempermudah penyelesaian. Dengan bantuan GSP proses menganalisis, membuat interpretasi, mengembangkan model dan strategi yang merupakan bagian dari kemampuan berpikir pada fase analysis menjadi lebih efisien pada kasus ini.
Setelah masalah dapat diselesaikan dengan suatu strategi, maka muncul pertanyaan, ”Apakah terdapat strategi/cara lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah ini?”. Dengan demikian proses berpikir kembali kepada tahap awal yaitu, entry, indvidu mulai memikirkan strategi baru. Kemudian individu tersebut menemukan bahwa dengan memanfaatkan konsep perpotongan seluruh garis
berat dalam segitiga ternyata dapat pula ditemukan tiga daerah segitiga yang memiliki luas sama dalam sebuah segitiga. Berikut ilustrasi yang dibuat menggunakan software dinamis geometri Geometers’ Sketchpad.
Sebuah segitiga sebarang ABC dapat dibagi menjadi tiga bagian yang memiliki luas sama dengan bentuk segitiga pula dengan menggunakan bantuan garis berat-garis berat AE, BD dan CF yang berpotongan di H, sehingga dapat dibentuk ΔAHB, ΔBHC dan Δ AHC. Hal ini dengan mudah dapat diperiksa dengan menggunakan Software The Geometers’ Sketchpad, seperti berikut.
ABCDEFHArea(Polygon AHB) = 29.3 square cmArea(Polygon AHC) = 29.3 square cmArea(Polygon BHC) = 29.3 square cm
Selanjutnya, dengan cara memanfaatkan titik tengah sisi-sisi segitiga dan titik potong garis berat pada segitiga ABC, yaitu titik H, dapat dibuat tiga segiempat ADHF, BFHE dan CDHE yang mempunyai luas daerah yang sama yang membentuk daerah segitiga ABC. Seperti terlihat dalam ilustrasi pada gambar berikut;
ABCDEFHArea(Polygon BFHE) = 29.3 square cmArea(Polygon CDHE) = 29.3 square cmArea(Polygon ADHF) = 29.3 square cm
Setelah tahap ini, proses berpikir dapat dikembangkan secara berkesinambungan hingga ke level yang lebih tinggi. Setelah permasalahan awal terjawab, seyogianya proses berpikir tidak terhenti sampai di sini. Dengan mengajukan pertanyaan lebih lanjut seperti berikut; ”Bagaimana membuktikan secara formal bahwa ketiga strategi tersebut dapat digunakan untuk membagi sebuah segitiga menjadi tiga daerah yang memiliki luas daerah yang sama?” dapat memicu individu berpikir lebih lanjut sehingga kegiatan berpikir tidak berhenti bahkan kualitasnya meningkat ke level yang lebih tinggi.
Proses berpikir yang berlangsung dengan baik, dapat pula menumbuhkan motivasi dan atau disposisi matematika pada para mahasiswa. Dari permasalahan di atas, ternyata ditemui seorang mahasiswa yang kemudian mengajukan pertanyaan lebih lanjut, ”Bagaimana bila sebuah segitiga akan dibagi menjadi dua bagian yang memiliki luas sama oleh sebuah garis yang sejajar dengan alasnya (salah satu sisi segitiga)?” Tentunya permasalahan ini sedikit lebih kompleks dari permasalahan awal, walaupun masih dalam konteks membagi suatu daerah segitiga, karena pada tahap ini diperlukan kemampuan menghubungkan konsep segitiga dengan konsep jajartengah, luas segitiga dan konsep perbandingan luas daerah. Pada tahap ini proses berpikir sudah mulai berkembang secara otomatis tanpa intervensi langsung dari dosen.
Secara analitik permasalahan tersebut tentu tidaklah terlalu rumit, dengan sedikit analisis, dapat diketahui bahwa segitiga akan terbagi menjadi dua daerah yang sama besar
oleh sebuah garis yang sejajar dengan salah satu sisi segitiga, bila dapat dikonstruksi garis yang sejajar dengan sisi segitiga itu dan memiliki panjang 21 dari panjang sisi itu.
Bila pertanyaan hanya berakhir pada “berapa panjang garis yang membagi segitiga menjadi dua daerah yang sama besar?” maka jawaban dapat ditemukan dengan cepat. Permasalahan akan menjadi lebih menantang dan menarik ketika diajukan pertanyaan lebih lanjut tentang bagaimana mengonstruksi garis tersebut. Pengajuan pertanyaan dapat dilakukan secara sengaja untuk mempertahankan agar proses berpikir dapat berlanjut.
ABCOIHJLKNMSQPArea(Polygon BCA) = 68.0 square cmArea(Polygon BCA) = 68.0 square cmArea(Polygon PQA) = 34.0 square cm
Pada gambar ini, konstruksi dilakukan dengan menggunakan Geometers’Sketchpad. Garis PQ sejajar sisi BC dari ΔABC, dan membagi ABC menjadi dua bagian yang sama luasnya, atau luasΔΔAPQ = ½ luas ABC. Tentu luas trapesium BCQP = luas APQ. ΔΔ
Dengan mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat serta ditunjang dengan penyediaan sarana yang dapat memicu berpikir (seperti dalam kasus ini adalah software pembelajaran geometri Geometers’ Sketchpad), mahasiswa dapat
mengembangkan kemampuan berpikir lebih baik dan lebih cepat sehingga dapat tercapai ketuntasan belajar. Selain itu diharapkan bahwa proses berpikir ini kelak akan menjadi suatu kebiasaan yang terbawa oleh mahasiswa atau siswa setelah proses belajar berakhir.
Ilustrasi tersebut merupakan contoh tentang serangkaian aktivitas bagaimana suatu proses berpikir berlangsung pada diri mahasiswa ataupun siswa, dari tahap awal, yaitu entry, dilanjutkan hingga attact dan review yang melibatkan berbagai aktivitas kognitif. Dengan sebuah proses berpikir yang berkesinambungan seperti itu, sangat besar kemungkinan dicapai ketuntasan belajar.
Selain itu, berpikir juga dapat muncul diawali oleh adanya kepekaan terhadap suatu situasi yang mengandung masalah/pertanyaan yang ingin dicari jawaban atau solusinya. Jika individu yang sedang belajar dituntut untuk menyelesaikan masalah itu dengan suatu cara yang relatif baru baginya, maka ini berarti individu dituntut untuk bersikap/berpikir kreatif. Beberapa hal yang terkait dengan berpikir kreatif antara lain;
• Kepekaan
• Originalitas
• Kelancaran
• Keluwesan (Evans, 1991)
• Elaborasi/penyempurnaan/detail/rinci (Fisher, 1990)
Kepekaan atau sensitivity dapat dimunculkan lewat pemahaman terhadap situasi dan pemahaman terhadap apa yang ingin dicapai atau tujuan dari permasalahan tersebut. Kepekaan diperoleh ketika individu pembelajar mengetahui serta dapat memanfaatkan fakta informasi yang terdapat dalam situasi tersebut, mencari informasi-informasi yang terkait dengan yang telah ditemukan dari masalah tersebut. Jika dikaitkan dengan fase berpikir maka proses ini berlangsung pada fase entry. Ia dapat bertanya apa yang dapat ia lakukan dengan informasi yang tersedia, dan yang ada di balik informasi itu.
Originalitas dapat dimunculkan jika diinginkan bahwa ide atau strategi yang akan digunakan oleh individu pembelajar untuk mengkaji masalah itu adalah suatu strategi yang relatif baru bagi individu yang bersangkutan, suatu strategi yang berbeda dari strategi yang biasa ia gunakan ataupun orang lain gunakan. Hal ini harus secara eksplisit dimunculkan pada soal atau perintah, misalnya individu diminta untuk menyelesaikan
soal dengan cara yang tidak lazim digunakan. Mencermati karakteristik dari aspek orisinalitas, maka proses ini berlangsung pada fase review. Dan ini tentu merupakan suatu tantangan.
Momentum pada proses berpikir perlu dipertahankan. Tidak sering ketika individu sedang berpikir untuk menyelesaikan suatu masalah ia mengalami kebuntuan. Ketika kebuntuan ini muncul dan tidak diupayakan adanya tindakan / langkah yang tepat, maka proses berikir dapat terhenti. Untuk ini, individu dapat segera bertindak untuk mencoba menggunakan strategi-strategi lain, dan tidak hanya bertahan pada strategi yang tidak membawanya pada solusi. Ini merupakan suatu usaha untuk mempertahankan kelancaran (fluency) dalam berpikir. Hal ini dimungkinkan karena sejak awal tentu diharapkan telah secara garis besar ada beberapa strategi yang berpeluang untuk digunakan dalam memikirkan penyelesaian. Fleksibilitas ini dapat dipertahankan dengan cara menuliskan suatu rubrik (Mason, Burton, Stacey 1996) tentang apa yang sudah dikerjakan namun belum berhasil, ataupun gagasan apa yang dapat digunakan untuk memikirkan penyelesaian dari masalah itu. Hanya dengan membuat rubrik, maka individu dapat melacak apa yang telah dikerjakan dan dipikirkan, sehingga ketika ia siap lagi ia dapat melanjutkan proses berpikirnya.
Keberhasilan dalam menemukan solusi perlu ditindak lanjuti dengan upaya untuk menyelesaikan masalah yang sama dengan cara lain atau beragam cara (flexibility). Hal ini amat dimungkinkan, oleh karena pilihan masalah yang tepat merupakan suatu syarat yang dapat memicu siswa berpikir divergen. Artinya guru memfasilitasi aktifitas belajar dengan soal yang menantang siswa serta menarik, agar terdapat kesempatan agar soal itu diselesaikan dengan cara–cara yang lain ketika solusi telah diperoleh. Selain itu keterkaitan diantara konsep matematika adalah salah satu karakteristik matematika. Permasalahan yang telah diperoleh solusinya dapat diperluas (extended) dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ”What if.....”, ”Is there another way?” Fleksibilitas adalah suatu pola pikir yang tidak hanya terpaku pada satu cara, atau pola pikir yang tidak memandang bahwa hanya ada satu jawab yang benar atau hanya ada satu cara yang benar sedangkan cara lain adalah tidak/kurang tepat. Pola fleksibilitas sesungguhnya perlu dimunculkan dalam proses berpikir matematika sehingga individu akan terlatih
untuk melihat dan menyelesaikan masalah dari perspektif yang berbeda yang selanjutnya dapat menumbuhkan self eficcacy (rasa yakin akan kemampuan diri sendiri).
Proses berpikir seperti ini perlu ditindaklanjuti pada tahap elaborasi (rinci/sempurna) dengan cara menata solusi-solusi yang ada, membandingkan, mencari generalisasi ataupun menganalisis strategi/cara-cara yang efektif dan efisien.
Elaborasi merupakan bagian dari proses berpikir dimana suatu ide/solusi yang original akan muncul dengan sangat cepat dan individu perlu merespons secara cepat sebelum ide itu menjadi lapuk. Karena itu seringkali solusi atau ide itu dimunculkan pada kertas (buram). Disini hanya terlihat langkah-langkah penting secara garis besar. Namun untuk keperluan mempelajari lagi solusi itu untuk tujuan-tujuan lanjutan, maka diperlukan agar ada proses elaborasi. Dalam proses ini, hasil pemikiran individu yang original dan secara garis besar itu ditata dengan lebih rinci dan distruktur secara sistematis. Hal ini akan membantunya ataupun orang lain di kelas untuk dapat memahaminya ketika mereka membaca. Disamping itu, proses berpikir akan menjadi lebih lengkap karena individu menuliskan atau mengungkapkan pemikirannya dengan lengkap dan detail yang secara langsung mengakomodasikannya di dalam memorinya.
Berikut adalah sebuah contoh bagaimana sebuah proses berpikir dapat dimulai oleh adanya suatu kepekaan terhadap suatu masalah serta informasi yang ada, yang diharapkan dapat mengungkapkan adanya aspek sensitivity dari individu pembelajar dalam proses berpikir kreatif;
”Sebuah bilangan bulat positif terdiri dari dua angka. Bilangan tersebut sama dengan 7 kali jumlah dari dua angka tersebut. Jika kedudukan angka-angka tersebut bertukar tempat maka bilangan yang terjadi sama dengan 18 lebih besar dari jumlah dua angka tersebut. Tentukanlah bilangan tersebut!”
Soal tersebut dapat saja dijawab secara analitis dengan menggunakan variabel-variabel dan prosedur yang biasa digunakan dalam belajar aljabar dengan memisalkan bilangan itu sebagai xy oleh individu pembelajar tanpa banyak kesulitan. Namun dengan begitu maka aspek sensitivity tidak dapat terlihat dari jawabannya. Tetapi ketika masalah diselesaikan dengan strategi yang berbeda, misalnya;
􀂃 Melihat informasi yang terdapat pada soal, yang pertama bahwa bilangan tersebut merupakan kelipatan 7 yang terdiri atas dua angka, maka kemungkinannya adalah; 14, 21, 28, 35, 42, 49, 56, 63, 70, 84, 91 (Pada tahap ini kepekaan dapat terlihat ketika menggali informasi kemudian mencoba mengolahnya)
􀂃 Berdasarkan informasi selanjutnya yaitu ”bila angka tersebut ditukarkan bilangan yang terjadi 18 lebih dari jumlah dua angka tersebut maka yang mungkin adalah bilangan; 21, 42, 63 dan 84 lalu dengan informasi terakhir dengan menukar dan melihat jumlah kedua angka penyusunnya akan diperoleh bilang 42 yang jika angkanya ditukar tempat menjadi 24.
􀂃 Pada proses yang terjadi di atas dilibatkan pula proses intuisi, yaitu ketika individu menduga bahwa bilangan tersebut berada di antara sekian banyak bilangan yang terdapat dalam daftar yang sudah dibuatnya.
Ketika masalah diselesaikan dengan strategi tersebut di atas maka tentu saja proses berpikir yang terlibat tidak prosedural belaka, tetapi sudah dapat dikategorikan sebagai berpikir kreatif. Permasalahan tersebut masih memungkinkan untuk diperluas, dengan mengajukan pertanyaan seperti ”Apakah ada cara lain?” guru memiliki peranan penting di dalam kelas untuk dapat memperluas masalah sehingga proses berpikir tidak terhenti dan berkembang ke level yang lebih tinggi.
Proses berpikir yang demikian itu, sesungguhnya harus terjadi di dalam kelas-kelas matematika. Kelas-kelas matematika yang dapat memunculkan situasi sedemikian yang mendorong berlangsungnya proses berpikir dengan baik, disebut sebagai suatu konsep Mathematical Thinking classroom. Berikut ini disajikan suatu skema sederhana mengenai proses dalam mathematical thinking classrom
Classroom Thinking
Ciptakan situasi
Pertanyaan
Masalah
Intervensi kognitif
Diskursus Matematik
Siswa
• Berpikir Creative
• Berpikir Kritis
• Berpikir Reflective
Untuk dapat menciptakan suatu situasi demikian, guru tidak boleh berpandangan bahwa matematika hanya sekedar kumpulan fakta-fakta dan prosedur saja serta hubungan-hubungannya melainkan seperti yang diungkapkan oleh Schoenfield (1992), yaitu bahwa situasi sedemikian sangat bergantung pada konsep guru (belief) tentang matematika. Hal yang sama diungkapkan oleh Thompson (1992) bahwa terdapat hubungan diantara belief dari guru dan praktek pembelajaran yang mereka terapkan di kelas. Briggs dan Davis (2008) mengungkapkan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru lambat laun dapat menyebabkan guru menjadi seorang pribadi yang terikat pada rutinitas. Jika pembelajaran tidak bervariasi dan tidak membuat orang berpikir maka merupakan suatu proses yang monoton, sehingga tidak muncul sesuatu yang baru sebagai dampak kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Hal yang perlu diingat bahwa seorang guru matematika seyogiyanya adalah seorang yang akan selalu belajar, dalam arti bahwa ia akan selalu berpikir. Karena itu sangat dibutuhan bahwa ia memiliki ketrampilan berpikir untuk nanti ia dapat menciptakan suatu mathematical thinking classroom.
Penutup
Mathematical thinking classroom memerlukan kesiapan dari guru matematika maupun siswa atau mahasiswa. Peranan guru matematika untuk menghadirkan mathematical thinking classroom harus lebih disadari dan diberdayakan. Karena itu pembentukan belief serta kemampuan pedagogik guru serta penguasaan kontent matematika yang memadai yang dapat mengakomodasi mathematical thinking classroom harus diupayakan. Guru perlu menerapkan model serta strategi yang tepatserta menata kurikulum yang sesuai untuk memunculkan thinking classroom, dan ditunjang dengan fasilitas yang memadai untuk terciptanya mathematical thinking classroom.
Daftar Pustaka
Briggs, M & David, S. (2008). Creative Teaching: Mathematics in the Early Years and Primary Classroom. Roudledge, New York.
Bruner, L. (1973). Going Beyond the Information Given. New York: Norton
Evans, J.R. (1991). Creative Thinking in The Decision and Management Sciences. Cincinnati, Ohio: South Western Publishing Co.
Fisher, R. (1990). ”Teaching for Thinking: Language and Maths” and ”Teaching for Thinking Across The Curriculum”, chapter in Teaching Children to Think”. Oxford: Basil Blackwell.
Glazer, E. (2001). Using WebSource to Promote Critical Thinking in High School Mathematics. [Online]. Tersedia: http://math.unipa.it/~grim/Aglazer79-84.pdf.
Gravemeijer, K.P.E (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Freudenthal Institution, Utrecht.
Gravemeijer, K. (1999). How Emergent Models May Foster the Constitution of Formal Mathematics. Dalam English, 1999. Mathematical Thinking and Learning. Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. New Jersey.
Mason. J, Burton.L, dan Stacey.K ( 1999). Thinking Mathematically. New York: Addison Wesley Publishing Company.
Sabandar, J. (2008). Pembelajaran Matematika Sekolah dan Permasalahan Ketuntasan Belajar Matematika. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Pendidikan Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Schneider. D.J. (1999). The Belief Machine. Dalam English, 1999. Mathematical Thinking and Learning. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Shafer, M.C, dan Foster, S. (1997). The Changing Face of Assessment. Tersedia
Sternberg, R.J., Roediger. H.L dan Halpren, D.F.(2007). Critical Thinking in Psychology. Cambridge, University Press.
Schoenfield, A.H. (1992). Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, and Sense Making in Mathematics.
Tall, D. (2002). Curriculum Design in Advanced Mathematical Learning dalam Advanced Mathematical Thinking. Kluwer Academic Publisher.
Introducing The Thinking Classroom. [Online]. diakses tanggal 26 Mei 2009.
Tersedia : http://learnweb.harvard.edu/ALPS/thinking/intro.cfm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar