Senin, 23 Januari 2012

PENERAPANPERANGKATPEMBELAJARANBERBASIS
}IODEL STAD BERMEDIA CD INTERAKTIF PADA MATERI
GEOMETRT BIDANG DATAR
Muhtaromt, Intan Indiatiz
t,t progrum Studi Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Semarang
Il. Sidodadi Ticrur No. 24 Semarang
Abstrak
Jurnal hasil penelitian ini beriudul "Penerapan Perangkat Pembelajaran berbasis
t:del srAD bermedia co tnteratety pada Materi Geometri Bidang Datar"- Permasalahan
,-g-iiriA dalam penelitian ini' idatah "Apakah prestasi matematika siswa dengan
ynbelajaran model Sf,qiD iermedia CD Interaiaif tebih baik daripada prestasi siswa dengan
';b;;i;i;r:r, model srAD; Apakah prestas-i matemsrikg siswa yang memiliki persepsi tinggi
c:ih baik daripada ,i,*o 'yo,g memiliki persepsi seda1tT. at.au
'ren.dah,
dan prestasi
n:tematika siswa yang *,i*itit'i'p"'epsi sedan.g iebih baik daripada siswa yang !'y!i!j
w-sensi rendah; ,qpot an i"ln'eiian piestasi beliia, morematika siswa dengan model STAD
' r* *5i,
"
AOh, r: rtri, i, i*go" m o def Sf,q D kr gant u n g p a d a p e r s ep s i s isw a " -
Dari hasil prn"j:iii, dkimpulkan uara tlih terdapat pengaruh yang signifikan
rJara model p"*trtaioro, STAD iengan media CD interaktif dan STAD terhadap prestasi
-rrtii,
iiraiplot prrLeioon prestasi 6elaia-r .sisv-a
sr,tafa siswa yang memput|yai kategori
itrsepsi tinggi, sedang ioi '"ndol''
Tidak te'it::t interaksi yang signifikan antara
icnggunaanmodelpembelaio,oy.dolkategoriperse:':isisv,a.kepadagurumatematika.Hasil
t;i lanjut pasca ancNe mininiukkan bahwi prestasi ntematika siswa yang nemiliki persepsi
ttsgi lebih baik daripaii i"ii't ii"iatika s:17,i.'-TI-::::::::i::^T::;o:::,"H
Xih:,":;;;;:;^;;;,";;;,;;;;;;-;k*; w"s men;!:'s.periepsi sedang tebih baik daripada
''€stasi
matematika ,ir*i" yi"is memnkr pirsepsi 'eniah' Tt!:k (: t::::"f:^::i:y:l:!:
y":#'#:;':;;';;;;:,;;;;;;;;'iifr-r'iig1" persepsi tinggi prestasi betajarnvo tebih
,ws;4, :d{a;r:i; ;s"is0wa!r yiaixng,i i*"",*r"it ii *Z'"gori persep.i ""'ng y"!" ,Yl:"-.!:!:'::!f:: f::'::;,
1"gi ;riryi." kes.imy,tr;< iahv,a siswa yang memitiki kategori
';;;';;;;si prertoii t"'t''i;'ii" tebih baik dr; :'s'+'a vang memiliki kategori persepsi
tEs3t7g.
t-a kunci : STAD dengan media, Persepsi' Prut;s: E:'siar Matematika'
Pendahuluan
Gurumasihmenjadisatu.satunyas__:":::eiajarbagisiswa.sementaraitu
r.]mber belajar lainnya belum dimanfae-*';- '-;'::a optimal untuk meningkatkan
:-. :ktifitas pembelajaran. Menurut Soleh ( i i': !
:-:.r dibanding sumber belajar lainnla C-:-
,*:..-ber belajar lainnya agar sesuai de::'-
r :,al tersebut disebabkan kelebihan
:: ." mampu mengkondisikan semua
::=:.:ingan dan kemamPuan sisrva'
Menurut Schramm (1984: 386) komputer memiliki. kemampuan yang lttet
dibandingkan media lainnya. Komputer lebih mampu menghasilkan jenis bolqlff
interaktif yang baik sekali antara guru dan siswa. Misalnya, komputer lebih rnw
lebih konsisten dari guru dalam mengadakan latihan praktek'
Dalam proses pembelajaran matematika di sekolah terdapat
permasalahan. Terkait dengan karekteristik matematika, objeknya yang
konsep dan prinsipnya berjenjang, dan prosedur pengerjaannya yang
memanipulasi bentuk-bentuk membuat siswa seringkali mengalami kesulilntt' {
tersebut tidak semuanya bisa divisualisasikan dalam tiga dimensi yang bisn tl
dengan baik oleh siswa. Hal ini menuntut penggunaan peftga yang tepat' yon$
membantu siswa memahami konsep lung
diajarkan dan mampu
keberagaman kecepatan belajar dan gaya belajar siswa, serta mengatasi
yangada pada guru.
Kenyataan di lapangan, pada pembelajaran geometri' kecenderultgnll
terjadi guru menyampaikan konsep dengan pembelajaran ekspositori drtrt
mengoptimalkan alat bantu atau peraga yang ada' Siswa diminta untuk
konsep dan rumus-rumus yang telah dijelaskan guru' Hal ini menyebabkarr lt
kebermaknaan dalam proses pbmbelajaran yang dilakukan. Siswa tidak diljrth
berfikir dan beraktifitas untuk mendapatkan sendiri pengetahuan yang diingi
Penggunaan alat bantu pembelajaran untuk materi inipun terkadang masing
optimal dan kurang menarik perhatian, motivasi, keaktifan dan kreatifitas siswn
proses pembqlajaran yang pada akhirnya menyebabkan pembelajaran menjatll
efektif.
ditinjau dari persepsi sislva kepada guru matematika?"' Selama pelaksanaan
perangkat pembelajaran, peneliti ingin mengungkap:
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap: bagaimana hasil
perangkat pembelajaran topik geometri bidang datar yang mengacu pada motlol n1 *rrrpuikan tujuan dan
l",nt{ruuh pembelajaran dengan model STAD bermedia CD Interaktif dan model
* lAl) tcrhadap prestasi belajar matematika
farpnrrrlr persepsi siswa kepada guru matematika terhadap prestasi belajar
ur'rll tr rr rl ika.
I'ar!,.rrrrrh interaksi antara model pembelajaran dan persepsi siswa kepada guru
al'tf ,'rrrrrIika terhadap prestasi belajar siswa.
l'uslaka
I'r'r'scpsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu
"rl
rrrr proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat
,t,,r ry;r, llamun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut
.L,rrr tlan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Menurut Davidoff
I .'1,1) persepsi adalah proses yang mengorganisir dan menggabungkan datatrrrhl
kita (pengindraan) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita
rru'rryadari sekeliling kita, termasuk sadar akan diri sendiri. Sedangkan
l"w,ilz dan Orgel (dalam Bimo Walgito, 1992: 53 - 54) menyatakan bahwa
.r rrrr:rupakan proses yang integrated dalam diri individu.
s I'AD merupakan salah satu tipe dalam pembelajaran kooperatif yang paling
lrnrrr tlan merupakan sebuah pendekatan yang cocok untuk guru yang baru mulai
lurkan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri
*-rrr|rrl komponen utama yaitu presentasi kelas, kerja kelompok, kuis (tes), dan
lrr kclompok.
Fase-fase Pembela nK STAD
'lrvilsl slswa
I
rr;rkrrn informasi
I
L
i
til
il
i
l
i
Tingkah laku Guru
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang
ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi
siswa belajar.
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan
demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Guru menielaskan kepada siswa Imana car
_)00 201
;::il
Nl,'111', t, Frtttt ,.t',tl\;ttt l;t',\\':t lt
1,,' rl:rl;rrrI l.r.lorrrpoli
k t'lonrpol' ln'l:r jirrl';
rsc -'1
Mcrnbimbing kelompok
bekerja dan belajar
Fase-5
Evaluasi.
Fase- 6
Memberikan penghargaan
rrrcrnbcntrrk kclornpok belajar dan membantu
kclonrpok agar melakukan transisi secara efisien.
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar
saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yarrp
telah dipelajari atau masing-masing kelompoh
mempresentasikan has i I kerj anya.
Guru mencari cara-cara untuk menghargai
baik upaya maupun hasil belajar individu dnrr
ke
Perbedaan pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pembelajarnrr
tradisional atau konvensional dapat dilihat pada tabel berikut:
Perbedaan Pembelajaran Kooperatif dengan konvensional
Tingkah laku Guru
konvensional
Prestasi belajar adalah hasit yang telah dicapai (dan yangl telah dilakukan,
rlikedakan). Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
rrrcmperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara kesslurflthan sebagai hasil
pcngalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar juga
tlirnaksudkan untuk meucapai suatu tujuan tertentu. Keberhasilan tpencapaian tujuan
hclajar dapat diketahui dari perubahan yang dihasilkan.
I I ipotesis
Untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian, dibual hipotesis:
;r. Prestasi matematika siswa dengan pembelajaran model STAD bermedia CD
Interaktif lebih baik daripada prestasi siswa dengan pembelajararF model STAD'
b. Prestasi matematika siswa yang memiliki persepsi tinggi lelbih baik daripada
prestasi matematika siswa yang memiliki persepsi sedang dan reilrdah, serta prestasi
matematika siswa yang memiliki persepsi sedang lebih baik - daripada prestasi
matematika siswa yang memiliki persepsi rendah.
c. Pada siswa yang memiliki persepsi tinggi dan sedang serta mengikuti model
pembelajaran STAD bermedia CD Interaktif mempunyai preastasi belaiar yang
lebih baik daripada siswa siswa yang mengikuti model perr-'nbelajaran STAD'
Sedangkan siswa yang memiliki pepersepsi rendah tidak ada - perbedaan prestasi
belajar yang mengikuti model pembelajaran STAD bermeadia CD Interaktif
maupun model pembelajaran STAD.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperiment€l semu' Tujuan
t'ksperimental semu adalah untuk memperoleh informasi yang me€rupakan perkiraan
hagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya dalam
l,cadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol dan atau mtremanipulasi semua
variabel yang relevan. Populasi dalam penelitian ini adalah semu ua siswa kelas VII
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran
yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan
memotivasi siswa belajar.
Guru menyajikan informasi kepada siswa
dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan
bacaan.
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
caranya membentuk kelompok belajar dan
membantu setiap kelompok agar melakukan
transisi secara efi sien.
Guru membimbing kelompok-kelompok
belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
mereka.
Menyampaikan materi
yang akan dipelajari
Menyampaikan informasi
secara lisan
Tidak menjelaskan pada
siswa bagaimana
berkelompok.
banyak
membimbing siswa kadangkadang
memberikan
jawaban soal
Ilvaluasi bersifat individual
fidak ada penghargaan
Ibrahim, dkk. (2000: l0)
Tingkah laku Guru
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang matcri
yang telah dipelajari atau masing-rnasing
kelompok mempresentasikan hasil kerjarrya.
Guru mencari cara-cara unfuk menghargai
baik upaya maupun hasil belajar inclivirlrr tlan
202
203
' .\rr,rlr..r', irl,lrrr
i\rr;rlrsi:; 'khir pc'elitian ini menggunakan Anava 2 jalan dengan sel tak sarnr
kemudian dilanjutkan dengan uji sceeffe untuk Ujiranjut pasca anava.
(semua perhitungan diatas akan diolah menggunakan paket olah data MINl,l,AH
versi 12).
Hasil dan pembahasan
L Analisis uji coba angket persepsi
Berdasarkan hasil uji coba angket persepsi disimpulkan bahwa seluruh butlr
angket valid dengan reliabilitas angket adalah 0,g15.
2. Analisis uji coba tes prestasi belajar
a. Validitas butir soal
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus r-product moment darr
dikonsultasikan dengan r tabel didapatkan bahwa seluruh butir soal valid.
Reliabilitas artinya dapat dipercaya atau diandalkan. Dari perhitungan yang
dilakukan diperoleh 111= 0,636. Berdasarkan kriteria tingkat reliabilitas maka
hal ini menunjukkan bahwa tingkat reliabilitas instrumen baik.
Daya pembeda soal
Hasil perhitungan diperoleh 20 soal yang diberikan, seluruh soal mempunyai
daya beda yang signifikan yaitu butir soal yang mempunyai daya beda sangat
baik sebanyak 3 butir soal, mempunya daya beda baik sebanyak l3 butir soal
dan sisanya mempunyai daya beda cukup.
Tingkat kesukaran soal
Dari hasil perhitungan diperoleh 20 soal yang diberikan didapatkan bahwa
butir soal yang mempunyai tingkat kesukaran sukar sebanyak 3 soal, tingkat
kesukaran sedang sebanyak 9 soal dan sisanya mempunyai tingkat kesukaran
mudah
c. Penentuan instrumen penelitian.
Setelah instrumen diujicobakan dan dianalisis validitas tes, reliabilitas tes,
daya pembeda, dan tingkat kesukaran soal maka seluruh butir soal digunakan
dalam penelitian ini.
Analisis data
a. Analisis awal
Uji normalitas kelas eksPerimen
Dengan
Ho : kelas eksperimen berdistribusi normal'
. Hr : kelas eksperimen tidak berdistribusi normal
SetelahdihitungdidapatkanoutputdengannilaiLhitung=0'143728'
L hitung = 0,l43728bukan anggota Daerah Kritis' maka Ho diterima'
Kesimpulan:datasiswakelompokeksperimenberdistribusinormal.
Uji normalitas kelas kontrol
Dengan
Ho : kelas kontrol berdistribusi normal'
Hr : kelas kontrol tidak berdistribusi normal
SetelahdihitungdidapatkanoutputdengannilaiLhitung:0,1342421.
L hitung = 0,1342421bukan anggota Daerah Kritis' maka Ho diterima'
Kesimpulan:datasiswakelompokkontrolberdistribusinormal.
Uji Homogenitas
Dengan
Ho : sampel berasal dari populasi ylrrg' homogen'
Hr : sampel berasal dari populasi yrrrrli lidak homogen
Setelahdihitungdidapatkanoutputtlcttllltttnilai/y'hitung=0.183.
/ hitung : 0.183 bukan anggota I)itcrrrlt Kritis' maka Ho diterima'
Kesimpulan : sampel berasal dari pr'lrrrl:rsi yang homogen'
c.
d.
I I
I
206
207
scrroslcr ll sMI' Ncgcri 2 Grobogan Tahun pelajaran 2010/2011. Kemudian ,"rn,'I
kelas vII F sebagai kelas eksperimen dan keras vII G sebagai kelas kontrol I
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentnrl, f
angket dan metode tes.
l. Metode dokumentasi I
I
Digunakan untuk memperoleh data-data yang diperlukan sebagai dasar untuk I
mengadakan penelitian lebih lanjut (Suharsimi, 2001: 135). Dalam penelitian inl i
dokumentasi yang dimaksud adalah data tentang daftar nama-nama siswa kelnr
VII SMP Negeri 2 Grobogan Tahun pelajaran 201012011.
2. Metode Angket
Metode angket atau kuesioner yaitu pengumpulan data dengan formulir yang
berisi daftar pertanyaan tertulis untuk mengetahui persepsi siswa terhadap guru
matematika. Sebelum digunakan, angket diuji validitas dan reliabilitasnya.
3. Metode tes
Metode tes digunakan untuk memperoleh data aklrir, yaitu skor post test setelah
treatment pada sampel. Daiam penelitian ini digunakan test objektif untuk
mengukur hasil belajar matematika yang dikenakan pada sampel.
Sebelum tes digunakan sebagai instrumen, terlebih dahulu diuji cobakan.
Tujuannya adalah untuk melihat item-item mana yang memenuhi syarat dan item
mana yang tidak memenuhi. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
a. Validitas soal
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan
atau kesahihan suatu instrumen (Suharsimi Arikunto, 2005 :69).
f=xy
Harga r*, yang diperoleh dikonsultasikan dengan tabel harga nilai r producl
moment dengan signifikansi 5%. Apabila tl ) t hbctrnaka butir tes valid
b. Reliabilitas
Reliabilitas tes diukur dengan menggunakan rumus Alpha.
r'=[(( nn- r))fJ.[ 'I--'i7))
(Suharsimi Arikunto,2005 : 104)
Harga r11 yang diperoleh dikonsultasikan dengan tabel harga nilai r product
moment dengan signifikansi 5%' Apabila tn ) t nbetmaka tes reliabel'
Daya pembeda soal
Daya beda soal digunakan untuk mengetahui suatu soal (perangkat tes),
apakah mampu membedakan hasil belajar antara siswa yang pandai dengan
siswa yang kurang pandai berdasarkan kriteria tertentu'
' D=BA -BB JA JB
Tingkat kesukaran soal
Untuk memperoleh kualitas soal yang baik perlu diperhatikan juga tingkat
kesukaran soal.
- Jika jumlah testi yanggagalmaksimal mencapai 2TYotermasuk mudah.
-Jikajumlahtestiyanggagalantara2SYosampai72ohtermasuksedang'
- Jika jumlah testi yanggagal7}Yoke atas, termasuk sukar'
Setelah data terkumpul dari hasil pengurnpulan data kemudian dianalisis, yang
rneliputi analisis awal dan analisis akhir'
l. Analisis awal
Analisis awal yang digunakan dalam penclitian ini adalah analisis uji normalitas
dengan uji Liliefors, uji homogenitas dengart trii Bartlett, dan Uji Kesamaan Rata-
Rata.
c.
d.
'l
N ,. xY - (I x112 y;
N Z x' - (L x)' (t r Zv2 -(I 4'y
204 205
b.
I l;r 1., r..,t'rrrrlr;rrrgirrr
I )cngalr
Ho : kelas eksperimen dan kontrol mempunyai kemampuan awal sama.
Hv : kelas eksperimen dan kontrol mempunyai kemampuan awal tidak s.rrrc
Setelah dihitung didapatkan out put dengan nilai t hitung = l, g0
nilai t hitung : 1, 80 bukan anggota Daerah Kritis, maka Hc diterima.
Kesimpulan : kelas eksperimen dan kontrol mempunyai kemamprrrr,
awal sama.
Analisis Akhir
Data penelitian diolah menggunakan MINITAB versi 12, dan hasil'yrr
sebagai berikut:
Factor Type Levels Values
Model fixed 2 STAD STAD Media
Persepsi fixed 3 Rendah Sedang Tinggi
Analysis of Variance for NiJ_ai, using Adjusted SS
belajar siswa. Karena H6s ditolak, maka perlu dilakukan
anava.
lanjut pasca
3. Interkasi antara faktor model pembelajaran dan persepsi siswa kepada guru
matematika (Hoes) diterima. Hal ini berarti tidak terdapat interaksi yang
signifikan antara penggunaan model pembelajaran dan kategori persepsi
siswa kepada guru matematika. Karena Hoes diterima, maka perbandingan
antara persepsi siswa dengan kategori tinggi, persepsi siswa dengan
kategori sedang dan persepsi siswa dengan kategori rendah mengikuti
perbandingan marginalnya.
I IrembahasanPenelitian
Berdasarkan hasil analisis uji hipotesis dan uji lanjut pasca anava maka dapat
dijelaskan ke-tiga hipotesis sebagai berikut:
a. Perbedaan prestasi matematika siswa dengan pembelajaran model STAD
bermedia CD trnteraktif dan model STAD.
Dari hasil uji hipotesis didapatkan Hsa diterima. Hal ini berarti bahwa tidak
terdapat pengaruh yang signifikan antara model pembelajaran STAD dengan
media cD interaktif dan STAD terhadap prestasi belajar. Kejadian ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya siswa belurn terbiasa dengan
kegiatan diskusi dalam pembelajaran karena guru cenderung ceramah, maka
perlu ada solusi strategis untuk mengatasi masalah ini misalnya guru secara
bertahap merancang kegiatan diskusi karena dengan kegiatan diskusi dapat
melatih siswa untuk memiliki sikap saling menghargai. Disisi lain, faktor
kondisi sosial ekonomi siswa yang bcltrrn memiliki komputer dirumah
masing-masing juga menghamabat clclitifitas penggunaan cD interaktif
(dalam bentuk power point). Oleh kilrcnir itu kedepan perlu dipertimbangkan
penggunaan media yang dapat tlil'.rfirilkan oleh siswa tanpa harus
menggunakan komPuter.
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS Model 7 266,4 I29;O l2g,O
Persepsi 2 5246t6 S2SStL 2627,s
Model
Persepsi 2 35t6 35,6 1,1 ,g
Error 10 3933, B 3933, B S6t2
Total '7 5 9482 | 4
F
2t30
46176
for Testl
P
0,134
0,000
0,32 0,730
Dari hasil rangkuman analisis varian tersebut menunjukkan bahwa:
l. Efek faktor model pembelajaran srAD dengan media cD interaktif dan
srAD terhadap variabel terikat (prestasi belajar siswa) FIoa diterima. Har
ini berarti bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara model
pembelajaran STAD dengan media cD interaktif dan STAD terhadap
prestasi belajar.
2. Efek faktor persepsi terhadap variabel terikat (prcstasi berajar siswa) Heg
ditolak. Hal ini berarli terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat
persepsi siswa dengan kategori tinggi, sedang darr rcrrdah terhadap prestasi
,l 208
209
l' r', rrrt rr;r;rrr r)r(':irir:ii nlatcmatika siswaditinjau dari kategori persepsi siswa.
ll;r:;il ;rrr;rrisis uji hipotesis dan uji lanjut pasca anava menunjukkan barrwa
rt:r'tl:rpat pcrbedaan prestasi berajar siswa antara siswa yang mempunynl
kategori persepsi tinggi, sedang dan rendah. Hasil uji lanjut pasca anav*r
menunjukkan bahwa prestasi matematika siswa yang memiriki persepsi tinggi
lebih baik daripada prestasi matematika siswa yang memiriki persepsi sedarg
dan rendah, serta prestasi matematika siswa yang memiliki persepsi sedarrg,
lebih baik daripada prestasi matematika siswa yang memiliki persepsi rendalr.
Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang dibuat oreh peneliti.
c' Perbedaan prestasi belajar siswa dari masing-masing model pembelajara'
ditinjau dari kategori persepsi siswa dan perbedaan prestasi belajar
matematika dari masing-masing kategori persepsi siswa pada masing-masing
model pembelajaran.
Hasil analisis uji hipotesis menunjukkan bahwa H6as diterima, hal ini berarti
tidak terdapat interaksi yang signifikan antara penggunaan moder
pembelajaran dan kategori persepsi siswa kepada guru matematika. Karena
Hom diterima, maka perbandingan antara persepsi siswa dengan kategori
tinggi, persepsi siswa dengan kategori sedang dan persepsi siswa dengan
kategori rendah mengikuti perbandingan marginalnya. Artinya jika secara
marginal/umum siswa yang memiriki kategori persepsi tinggi prestasi
belajarnya lebih baik dari siswa yang memiliki kategori persepsi sedang, maka
kalau ditinjau dari masing-masing moder pemberajaran juga berraku
kesimpulan bahwa siswa yang memiriki kategori persepsi tinggi prestasi
belajarnya lebih baik dari siswa yang memiriki kategori persepsi sedang.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sorla dari teori sebagai pendukung,
maka penelitian ini dapat diambil kesimpulan scblgai lrcrikut :
l. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara model pembelajaran STAD dengan
media CD interaktif dan STAD terhadap prestasi belajar. Kejadian ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor misalnya siswa belum terbiasa dengan kegiatan diskusi dalam
pembelajaran karena guru cenderung ceramah. Disisi lain, faktor kondisi siswa
yang belum memiliki komputer dirumah masing-masing juga menghamabat
efektifitas penggunaan CD interaktif (dalam bentuk power point).
.1. Terdapat perbedaan prestasi belajar siswa antara siswa yang mempunyai kategori
persepsi tinggi, sedang dan rendah. Hasil uji lanjut pasca anava menunjukkan
bahwa prestasi matematika siswa yang memiliki persepsi tinggi lebih baik daripada
prestasi matematika siswa yang memiliki persepsi sedang dan rendah, serta prestasi
matematika siswa yang memiliki persepsi sedang lebih baik daripada prestasi
matematika siswa yang memiliki persepsi rendah.
3. Terdapat interaksi yang signifikan antara penggunaan model pembelajaran dan
kategori persepsi siswa kepada guru matematika. Artinya jika secara
marginal/umum siswa yang memiliki kategori persepsi tinggi prestasi belajarnya
lebih baik dari siswa yang memiliki kategori persepsi sedang, maka kalau ditinjau
dari masing-masing model pembelajaran juga berlaku kesimpulan bahwa siswa
yang memiliki kategori persepsi tinggi prestasi belajamya lebih baik dari siswa
yang memiliki kategori persepsi sedang.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2005. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekntan Praktis. Jakarta :
Rineka Cipta.
1998. Edisi Revisi Prosedur Penelitian suatu Penelitian Praktek Jakarta :
Rineka Cipta.
Arsyad, A. 2006. Media PembelaiaraLr. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Artzt, A.F., Newman, c.M. 1990. Cooperaliva Le.arning. Mathematics Teacher, 83
(6):448-452.
Iludiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian Iili.si Kc-2. Surakarta : UNS Press.
.l
210
211
Crowlay, Mary L. 1989. The Van Hiele Model of The Development of Geomaftic
Thought.In Mary Montgomery Linguist & Albert P. Shulte (Eds.), Learning
and Teaching Geometry, K-12, pp 6-13. NCTM, Reston.
Dwijanto. 2007. Pengaruh Pembelajqran Berbasis Masalah Berbqntuan Kompuler
Terhadap Pencapaian Kemarnpuan Penrccahan Masalah Dan Berpikir
Kr e at if Mat e mat ik Mah as i sw a. D i s er t asi. Bandun g.
Eggen, P.D & Kauchak, P. P. 1996. Strategies forTeacher: Teaching Content and
Thinking Skill. Boston: Allyn & Bacon.
Hudoyo, Herman. 1990. Srategi Mengajar Belaiar Matematika. Surabaya : IKIP
Malang.
Irwanto et.oll.1996. Psikologi lJmum. Jakarta : Gramedia Pustaka utama.
Krismanto. 2004. Matematika.Materi Pelatihan Terintegrasi. Jakarta: Depdiknas.
Lie, A. 2004. Cooperative Learning Memprahikkan Cooperative Learning di Ruang-
Ruang Kelos. Jakarta: PT Gramedia Widiarsana Indonesia:
Mahmud, Dimyati. 1997. Psikotogi Pendidikan Suatw Pendekatan Terapan.
Yogyakarta: BPFE.
Marpaung, Y. 2006. Pembelaiaran Matematika dengan Model PMN. Makalah.
Semarang.
Schramm, w. 1984. Media Besar Media Kecil. semarang: IKIP Semarang Press.
Slameto. 2003. Belaiar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Iakarta: Rineka
Cipta.
Slavin, S.E. 1995. Cooperative Learning, second edition. Massachusets: Allyn &
Bacon.
Soedjadi. 1995. Pendidikan, Penalaran, Konstruklittilas, Kreativitos, sajian dalant
Pembelajaran Matematika. Makalah seminar Nasional Pendidikan
Matematika. IKIP SurabaYa.
Soedjoko, E. 1999. Penelusuran Tingkat Perkemhcmgan Berpikir Model van Hiele
Pada Siswa SD Kelas III, IV, dan I/ tlolunr Belaiar Geometri' Tesis'
Semarang.
2t2
Soejono. 1989. Diagnosis Kesulitan Belajar dan ?engajaran Remidial Motemafika.
Jakarta: P2LPTK.
Soleh, M. 1998. Pokok-Pokok Pengajaran Matemafika Sekolah. Jakarta: Depdikbud.
Sudjana, N. 2003. Teknologi P;engajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Suherman, E & Winataputra, U S. 2003. Stategi Belaiar Mengaiar Matemotika.
Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka Depdikbud'
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
I-im Pengembangan MKDK IKIP Semarang. 1989. Psikologi Belaim. Semarang: IKIP
SEMARANG PRESS.
Walgito, Bimo. 1992. Pengantar Psikologi (Jmum. Yogyakarta: Andi.
213
Pengembangan Pembelajaran Berpendekatan Tematik Berorientasi
Pemecahan Masalah Matematika Terbuka untuk Mengembangkan
Kompetensi Berpikir Divergen, Kritis dan Kreatif
I Gusti Putu Sudiarta1
Abstrak: Kompetensi berpikir divergen, kritis, dan kreatif di kalangan peserta didik adalah sangat penting dalam era persaingan global, karena tingkat kompleksitas permasalahan dalam segala aspek kehidupan modern semakin tinggi. Pendekatan tematik memberi kesempatan kepada peserta didik untuk secara mendalam mengkaji topik-topik matematika yang dikemas secara menarik dan kontekstual, sedangkan pemecahan masalah matematika terbuka memberikan kesempatan luas untuk melakukan investigasi masalah matematika secara mendalam, sehingga siswa dapat mengkonstruksi segala kemungkinan pemecahannya secara divergen, kritis dan kreatif.
Artikel ini bertujuan (1) mengkaji hakikat pendekatan tematik dalam pembelajaran matematika dan kesesuaiannya dengan tuntutan KBK, (2) mengakaji pendekatan pembelajaran matematika berorientasi pada pemecahan masalah matematika terbuka, (3) mendeskripsikan pengertian kompetensi berpikir divergen, kritis, dan kreatif, beserta indikator-indikatornya, dan (4) memberikan contoh model pemecahan masalah matematika terbuka untuk mengembangkan kompetensi berpikir divergen, kritis, dan kreatif dalam pembelajaran matematika.
Kata kunci: pendekatan tematik, pemecahan masalah matematika terbuka, kompetensi matematis tingkat tinggi, berpikir divergen, kriti, dan kreatif
I. Pendahuluan
Mengembangkan kompetensi berpikir kritis, kreatif dan produktif di kalangan peserta didik merupakan hal yang sangat penting dalam era persaingan global, karena tingkat kompleksitas permasalahan dalam segala aspek kehidupan modern ini semakin tinggi. Kemampuan berpikir kritis, kreatif dan produktif tergolong kompetensi tingkat tinggi (high order competecies) dan dapat dipandang sebagai kelanjutan dari kompetensi dasar (biasa disebut dengan basic skills dalam pembelajaran matematika). Basic skills dalam
1 I Gusti Putu Sudiarta adalah dosen Jurusan Pendidikan Matematika pada FPMIPA, UNDIKSHA Singaraja, e-mail: gussudiarta@yahoo.de 1
pembelajaran matematika biasanya dibentuk melalui aktivitas yang bersifat konvergen. Aktivitas ini umumnya cenderung berupa latihan-latihan matematika yang bersifat algoritmik, mekanistik dan rutin. Namun kompetensi berpikir kritis, kreatif dan produktif bersifat divergen dan menuntut aktivitas investigasi masalah matematika dari berbagai perspektif. Dalam hal ini pemecaham masalah matematika tidak semata-mata bertujuan untuk mencari sebuah jawaban yang benar, tetapi bertujuan bagaimana mengkonstruksi segala kemungkinan pemecahannya yang reasonable dan viabel.
Dalam kenyataannya pembelajaran matematika di Indonesia, bahkan di banyak negara masih didominasi oleh aktivitas latihan-latihan untuk pencapaian mathematical basics skills semata. Hal ini berakibat pada rendahnya prestasi dan minat belajar matematika siswa. Tak sulit menemukan data statistik tentang rendahnya prestasi belajar matematika siswa. Walaupun hal ini tidak sepenuhnya salah, dalam era persaingan bebas ini pembelajaran matematika yang bertumpu pada pencapaian basic skills tidaklah memadai. Dengan demikian pembelajaran matematika, kini dan di masa datang tidaklah boleh berhenti hanya pada pencapaian basic skills, tetapi sebaliknya harus dirancang untuk mencapai kompetensi matematis tingkat tinggi (high order competencies).
Perspektif baru ini merupakan tantangan yang harus dijadikan pegangan dalam pembelajaran matematika, dimana model pembelajaran harus mampu memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik dalam membangun pengetahuan, dan pengalaman mulai dari basic skills sampai higher order skill. Perspektif baru ini juga menuntut adanya reorientasi dalam aktivitas pemecahan masalah matematika. Tujuan pemecahan masalah matematika tidak lagi hanya terfokus pada penemuan sebuah jawaban yang benar (to find a correct solution), tetapi bagaimana mengkonstruksi segala kemungkinan pemecahan yang reasonable, beserta segala kemungkinan prosedur dan argumentasinya, kenapa jawaban atau pemecahan tersebut masuk akal (how to construct and to defend various reasonable solutions
2
and its respective procedures). Kemampuan matematis seperti ini sangat relevan, mengingat masalah dunia nyata umumnya tidak sederhana dan konvergen, tetapi sering kompleks dan divergen, bahkan tak terduga. Kemampuan berpikir kritis, kreatif dan produktif sangat penting dalam menganalisa, mensintesa dan mengevaluasi segala argumen untuk mampu membuat keputusan yang rasional dan bertanggungjawab. Peserta didik hendaknya diarahkan untuk mencapai kompetensi tingkat tinggi ini melalui aktivitas-aktivitas pembelajaran yang bervariasi, tematik kontekstual dan terbuka. Model pembelajaran berpendekatan tematik berorientasi pemecahan masalah matematika terbuka yang dikaji dalam tulisan ini adalah untuk mengembangkan kemampuan tingkat tinggi. Pendekatan tematik akan memberi kesempatan kepada siswa untuk secara mendalam mengkaji topik-topik matematika yang dikemas secara menarik dan kontekstual, sedangkan pemecahan masalah matematika terbuka akan memberikan peserta didik kesempatan untuk melakukan investigasi masalah matematika secara mendalam, sehingga dapat mengkonstruksi segala kemungkinan pemecahannya secara kritis, kreatif, divergen, dan produktif.
Namun demikian, permasalahan terkait dengan usaha mengembangkan kemampuan berpikir divergen, kritis, kreatif, dan produktif dalam pembelajaran matematika ini menghadapi berbagai kendala, antara lain, masih kaburnya hakikat dan konsep terkait dengan pembelajaran tematik, masalah matematika terbuka, kemampuan berpikir kritis, kreatif dan produktif, serta kurangnya contoh-contoh praktis yang siap diaplikasikan. Berhubungan dengan hal tersebut, kajian ini bertujuan untuk membahas secara singkat, beberapa hal terkait dengan usaha Pengembangan Pembelajaran Berpendekatan Tematik Berorientasi Pemecahan Masalah Matematika terbuka untuk Mengembangkan Kompetensi Berpikir Divergen, Kritis, dan Kreatif, terutama tentang: (1) Hakikat pendekatan tematik dalam pembelajaran Matematika dan kesesuaiannya dengan tuntutan KBK, (2) Pendekatan pembelajaran Matematika berorientasi pemecahan masalah Matematika terbuka, (3) Mengembangkan
3
kemampuan berpikir divergen, kritis dan kreatif , dan (4) Contoh pengembangan kompetensi berpikir divergen, kritis dan kreatif dalam pembelajaran Matematika.
II. Kajian Literatur dan Pembahasan
Berikut ini diuraikan dan dibahas teori-teori serta temuan-temuan penelitian yang mendukung gagasan yang mendasari kajian ini.
1. Hakikat pendekatan tematik dalam pembelajaran Matematika dan kesesuaiannya dengan tuntutan KBK
Pendekatan tematik dalam pembelajaran sebenarnya bukanlah suatu yang baru. Namun demikian, pendekatan ini semakin mendapat penekanan seiring dengan diterapkannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) di Indonesia. Disamping itu, dengan adanya tuntutan perubahan paradigma pembelajaran, terutama akibat semakin dominannya pengaruh pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran. KBK yang sering diklaim mengadopsi philosopi konstruktivisme menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka secara mandiri sesuai dengan pengalaman, kemampuan dan tingkat perkembangan individual siswa, baik perkembangan kognitif, afektif maupun psikomotorik. Dalam rangka mengakomodasi (perbedaan) karakteristik individual peserta didik, maka pembelajaran hendaknya dirancang dan dilaksankan secara kontekstual, antara lain dengan menggunakan sumber dan lingkungan belajar yang dekat dengan kehidupan peserta didik sehari-hari. Bahan atau pokok-pokok bahasan pun hendaknya dikemas sedemikian rupa, sehingga dekat dengan kehidupan siswa. Salah satu cara untuk itu adalah dengan mengemas pokok-pokok bahasan, beserta kompetensi-kompetensi yang berkaitan dalam suatu tema yang menarik yang dekat dengan kehidupan siswa. Hal inilah yang dikenal dengan pendekatan tematik dalam pembelajaran.
Dalam dokumen KBK dituliskan bahwa “Pembelajaran tematik merupakan suatu Model pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan
4
pengalaman yang bermakna kepada siswa. Keterpaduan dalam pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek kurikulum, dan aspek belajar mengajar“ (Depdiknas, 2002).
Secara umum, pembelajaran tematik hanya diajarkan pada siswa sekolah dasar kelas rendah (kelas I dan II), karena pada umumnya mereka masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik), perkembangan fisiknya tidak pernah bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial, dan emosional (Depdiknas, 2002). Namun demikian, untuk pembelajaran matematika pendekatan tematik bukan hanya cocok untuk kelas I dan II Sekolah Dasar, tetapi cocok untuk semua SD, SMP dan bahkan SMA. Hal ini mengingat karakteristik khas Matematika itu sendiri, yaitu memiliki content yang memuat bangunan konsep-konsep abstrak, sistem-sistem aksioma, prosedur algoritma yang pada umumnya bersifat deduktif. Menyadari kharakteristik khas Matematika itu maka ahli-ahli pendidikan Matematika (mathematics education) telah sejak lama mencari pendekatan/metode pembelajaran yang dapat menyajikan content Matematika yang lebih ramah untuk peserta didik. Salah satu gerakan ke arah ini yang paling terkenal misalnya adalah “Reaslistic Mathematics Education”, yang pada awalnya dikembangkan di Belanda oleh Freudenthal mulai tahun 1973 dalam bukunya "Mathematics as an Educational Task” (Freudenthal, 1991) dan hingga kini telah diadopsi dibanyak negara, seperti di Amerika dalam bentuk Mathematic in Context, bahkan termasuk di Indonseia melalui PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia). Gerakan “Reaslistic Mathematics Education” ini semakin memberikan benang merah untuk melakukan reorientasi pembelajaram Matematika (Sudiarta, 2005b). Reorientasi ini menuntut penyajian matematika lebih ramah, dekat dan mempertimbangan kebutuhan dan kehidupan siswa sehari-hari,baik langsung maupun tak langsung, lebih kontekstual dan lebih berorientasi pada pemecahan masalah dalam rangka membangun kompetensi berpikir divergen, kretatif dan kritis serta produktif. Pembelajaran
5
Matematika tidak boleh berhenti pada penyimpanan fakta-fakta, pelatihan ketrampilan dan skill rutin saja. Salah satu pendekatan pembelajaran yang cocok untuk tujuan ini adalah pendekatan pembelajaran tematik dipadukan dengan pendekatan dengan pemecahan masalah Matematika terbuka.
Freeman dan Sokoloff (1996) menyatakan bahwa tema dalam pembelajaran Matematika hendaknya memuat koleksi dari pengalaman belajar yang dapat membantu siswa dalam memahami dan memecahkan masalah dengan lebih mendalam. Sedangkan Perfetti dan Goldman (1975) menyatakan bahwa “Themes are the organisers of the mathematical curriculum, and concepts, skills and strategies are taught around a central theme that is intended to give meaning and direction to the learning process”.
Lebih lanjut Freeman dan Sokoloff (1995) menyatakan unit-unit bahasan dalam pembelajaran Matematika terdiri atas 3 elemen yaitu (a) facts and information, (b) topics and (c) themes. Fakta dan informasi matematika berorientasi pada informasi dasar yang sempit dan disktrit, sedangkan topik menyediakan konteks untuk fakta dan informasi tersebut, sedangkan tema memungkinkan peserta didik untuk mengintegrasikan (interconnected) fakta, informasi dan topik-topik dalam ruang pengalaman manusia yang lebih luas.
Handal (2000) menyebutkan bahwa pembelajaran Matematika dengan pendekatan tematik memberikan ruang luas untuk membangun pengalaman dan pengetahuan Matematika, terutama yang berkaitan dengan kehidupan siswa sehari-hari (real world problem). Schroeder & Lester (1989, p. 33) mengambarkan bahwa pembelajaran Matematika dengan pendekatan tematik dapat dicirikan dengan “(a) conceptual mathematization from the concrete to the abstract, (b) free production mainly in the form of projects and investigations, (c) interactive learning, (d) interdisciplinary learning, and (e) assessment based on constructivist principles and not on rote learning”.
6
Pembelajaran Matematika dengan pendekatan tematik berkembang pesat di negara-negara maju. Australia, khususnya negara bagian New South Wales adalah salah satu negara yang sukses menerapkan pendekatan ini. Di sini pendekatan tematik dalam pembelajaran Matematika telah digunakan sejak tahun 1983, bukan saja untuk kelas dasar, tapi bahkan untuk kelas SMP (secondary school). Tema-tema standar yang dikembangkan misalnya untuk kelas 9 dan 10 menurut The General Syllabus (Secondary Schools Board NSW, 1983:19) terdiri dari (a) Mathematics of our Environment, (b) Mathematics involving Food, (c) Mathematics in the Workplace, (d) Building Design, (e) Mathematics involving Sports, and (e) Mathematics in the Community, (f) Handcrafts, and (g) Tourism and Hospitality. Setiap tema dapat dibagi menjadi sub-sub tema yang relevan. Misalnya tema Mathematics involving Sports dapat dibagi menjadi sub-sub tema seperti: (a) Sporting Venues, (b) Sporting Costs, dan (c) Performance in Sport .
2. Pendekatan pembelajaran Matematika beorientasi pemecahan masalah matematika terbuka
Pendekatan berdasarkan masalah dalam pembelajaran matematika sebenarnya bukan hal yang baru, tetapi Polya sudah mengembangkannya sejak tahun 40-an. Namun pendekatan ini mendapat perhatian luas lagi mulai tahun 80-an sampai sekarang, dengan dikembangkannya pendekatan pemecahan masalah berbentuk terbuka (open ended) di Jepang. Pendekatan ini didasarkan atas penelitian Shimada, adalah "an instructional strategy that creates interest and stimulates creative mathematical activity in the classroom through students’ collaborative work. Lessons using open-ended problem solving emphasize the process of problem solving activities rather than focusing on the result" (Shimada &Becker, 1997; bandingkan dengan Foong, 2000).
Pendekatan ini berkembang pesat sampai di Amerika dan Eropa yang selanjutnnya dikenal secara umum dengan istilah Open-Ended Problem Solving. Di Eropa, terutama di negara-negara seperti Belanda pendekatan pembelajaran ini mendapat perhatian luas, seiring
7
dengan terjadinya tuntutan pergeseran paradigma dalam pendidikan Matematika di sana. Diklaim bahwa pembelajaran Matematika merupakan human activity” baik mental atau phisik berdasarkan “real life”, yang dapat dilakukan oleh semua orang. Paradigma baru memaknai “real life” dengan mengadopsi landasan Konstruktivisme Radikal Modern (berdasarkan Biologi Kognitivisme dan Neurophisiologi) oleh Maturana dan Varela (1984) bahwa fenomena-fenomena alam itu tidak dapat direduksi secara penuh menjadi klausa-klausa deterministik, dengan struktur dan pola yang unik, tunggal dan dapat diprediksi secara mudah. Sebaliknya real life adalah kompleks, dengan struktur dan pola yang sering tak jelas, tak selalu teramalkan dengan mudah, multidimensi, dan memungkinkan adanya banyak penafsiran dan sirkuler. Pengetahuan manusia tentang alam hanyalah hipotesa-hipotesa konstruksi hasil pengamatan yang terbatas, yang tentu saja dapat salah (fallible). Mengadopsi pandangan ini dalam pembelajaran Matematika, berarti memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar melalui aktivitas-aktivitas real life, dengan menyajikan fenomena alam “seterbuka mungkin” pada siswa. Bentuk penyajian fenomena real dengan "terbuka" ini dapat dilakukan melalui pembelajaran yang berorientasi pada masalah / soal / tugas terbuka. (Sudiarta, 2003a, 2003b, 2003c).
Secara konseptual masalah terbuka dalam pembelajaran Matematika adalah masalah atau soal-soal Matematika yang dirumuskan sedimikian rupa, sehingga memiliki beberapa atau bahkan banyak solusi yang benar, dan terdapat banyak cara untuk mencapai solusi itu. Pendekatan ini memberikan kesempatan pada siwa untuk "experience in finding something new in the process" (Schoenfeld, 1997).
Pembelajaran berdasarkan masalah terutama masalah Matematika terbuka sangat sesuai dengan tuntutan KBK, terutama karena disamping mengembangkan kemampuan memecahkan masalah (problem solving), pendekatan ini juga menekankan pada pencapaian kompetensi matematis tingkat tinggi yaitu berpikir kritis, kreatif dan produktif.
8
3. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan kreatif
Banyak hasil penelitian (misalnya Sternberg & Lubart, 1991) menemukan bahwa pengukuran kemampuan siswa berdasarkan tes standar konvensional tidak mampu mengukur kemampuan peserta didik secara utuh dan menyeluruh. Hasil-hasil tes tersebut barangkali dapat mengungkap tentang kemampuan siswa dalam “menghasilkan sebuah jawaban yang benar”, tetapi tidak tentang kemampuan berpikir tingkat tinggi yang berkaitan dengan kreativitas siswa, terutama dengan kemampuan berpikir divergen, dan kritis untuk memecahkan masalah yang diberikan secara kreatif melalui pengkajian multiperspektif. Lebih lanjut, disimpulkan bahwa sesungguhnya ada dua bentuk kompetensi berpikir yaitu (a) berpikir divergen dan (b) berpikir konvergen.
Seseorang disebut memiliki preferensi berpikir konvergen jika memikiki kemampuan dalam mengumpulkan material, informasi, skill untuk digunakan dalam memecahkan masalah sedemikian rupa dapat dihasilkan jawaban yang benar. Kemampuan berpikir ini sangat cocok pada pelajaran Ilmu Alam, Matematika, dan Teknologi. Alasannya karena bidang ini membutuhkan konsistensi, dan reliabilitas. Kemampuan ini sangat cocok diukur dengan tipe tes standar, seperti tes-tes intelegensi, maupun tes dalam ujian-ujian nasional. Sedangkan berpikir divergen lebih tertuju pada pengembangan kemampuan dalam menghasilkan elaborasi kreativitas dari ide-ide yang dihasilkan dari stimulus. Berpikir divergen diklaim cenderung merupakan preferensi bagi bidang seni dan kemanusian. Untuk mengukur kemampuan ini cocok digunakan tes open-ended, tes-tes yang mengunakan objek-objek.
Namun Isaksen, Dorval & Treffinger (dalam Parnes 1992) mendefinisikan berpikir divergen sebagai kemampuan untuk mengkonstruksi atau menghasilkan berbagai respon yang mungkin, ide-ide, opsi-opsi atau alternatif-alternatif untuk suatu permasalahan atau tantangan. Berpikir divergen paling tidak menekankan (a) adanya proses interpretasi dan evaluasi terhadap berbagai ide-ide, (b) proses motivasi untuk memikirkan berbagai kemungkinan ide
9
yang masuk akal, dan (c) pencarian terhadap kemungkinan-kemungkinan yang tak biasanya (non rutin) dalam mengkonstruksi ide-ide unik.
Definisi divergent thinking menurut Isaksen, Dorval & Treffinger tersebut di atas, nampaknya lebih relevan dengan tema pengembangan kemampuan berpikir divergen, kritis dan kreatif dalam konteks pembelajaran matematika. Untuk itu, definisi operasional berpikir divergen dalam artikel ini akan dibatasi sebagai suatu kompetensi matematis yaitu kemampuan untuk menkonstruksi segala kemungkinan jawaban, beserta prosedur dan alasannya terhadap masalah Matematika yang akan dipecahkan. Sejak bertahun-tahun kompetensi seperti ini kurang mendapat perhatian dalam pembelajaran Matematika. Hal ini disebabkan karena sampai akhir dekade terakhir ini pembelajaran Matematika masih didominasi oleh pandangan bahwa pemecahan masalah Matematika hanya berhubungan dengan pencarian jawaban tunggal (unik) yang benar, sebab masalah Matematika harus dirumuskan dengan informasi matematis yang lengkap, sehingga jawabannya pun harus pasti dan tunggal, dengan prosedur deduktif yang jelas. Namun sejak tahun 1970-an Shimada mengembangkan pendekatan open-ended dalam pembelajaran Matematika yang berorientasi pada pengembangan masalah Matematika terbuka, yang disusun sedemikian rupa sehingga masalah tersebut memiliki lebih dari satu jawaban yang benar, dan dengan lebih dari satu prosedur dan argumentasi pula. Inilah awal berkembangnya perspektif baru pembelajaran Matematika, dimana kompetensi matematis tingkat tinggi termasuk kemampun berpikir divergen dan kritis dijadikan fokus pembelajaran Matematika.
Definisi berpikir kritis telah mengalami perubahan selama beberapa dekade terakhir ini. Ahli-ahli kognitif, psikologi, dan filsafat telah mencoba memberikan beberapa definisi tentang cara berpikir kritis, di antaranya sebagai:
10
(1) Kemampuan untuk menganalisa fakta, mengorganisasi ide-ide, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, membuat suatu kesimpulan, mempertimbangkan argument, dan memecahkan masalah (Parnes, 1992: 11)
(2) Salah satu logika yang mencerminkan kepercayaan seseorang dan keteguhan hati seseorang (Vehar, Firestien, & Miller, 1989 dalam Upitis, Philip & Higginson, 1997:64)
(3) Cara berpikir kritis meliputi pemikiran analitis dengan tujuan untuk mengevaluasi apa yang telah dibaca (Beaton, A.E.et al., 1996, dalam Parnes, 1992: 175)
(4) Suatu proses sadar yang digunakan untuk menginterpretasi atau mempertimbangkan informasi dan pengalaman yang menggiring pada suatu perilaku (Confrey,1991 dalam Sternberg &Lubart, 1991: 24);
(5) Proses pemahaman dan pengevaluasian argumentasi yang aktif dan sistematis. Sebuah argumen memberikan suatu pernyataan yang tegas tentang suatu hal atau hubungan antara dua atau lebih hal dan bukti-bukti untuk mendukung suatu pernyataan. Orang-orang yang memilliki daya pikir kritis mengakui bahwa tidak hanya ada satu cara yang benar untuk memahami dan mengevaluasi argument (Freire, P., D'Ambrosio, U., & Do Carmo Mendonco, M.,1997 dalam Parnes, 1992: 84);
(6) Proses intelektual aktif yang disiplin dalam mengkonseptualisasi, mengaplikasikan, menganalisis, menguraikan, dan atau mengevaluasi informasi yang didapat dari observasi, pengalaman, refleksi, logika, atau komunikasi (Fuson, K., & Briars, D.,1990 dalam Sternberg &Lubart, 1991:5);
(7) Cara berpikir logis yang memfokuskan pada apa yang harus dipercayai atau dilakukan (Hiebert, J. & Carpenter, T. P.,1998: 21).
Seperti halnya dengan kemampuan kritis, banyak penulis berusaha untuk mendefinisikan pengertian berpikir kreatif. Namun yang paling relevan dalam kajian ini
11
adalah yang didefinisikan oleh Wilson, 2004 (dalam Parwati 2005 ) berdasarkan penyesuaian dan modifikasi karya Willian, F.E 2003 (dalam Parwati 2005) yang memberikan ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif sbb: (1) Kelancaran (Fluency) yaitu kemampuan untuk membangkitkan sebuah ide sehingga terjadi peningkatan solusi atau hasil karya, (2) Fleksibelitas (Flexibility) yaitu kemampuan untuk memproduksi atau menghasilkan suatu produk, persepsi, atau ide yang bervariasi terhadap masalah, (3) Elaborasi (Elaboration) yaitu kemampuan untuk mengembangkan atau menumbuhkan suatu ide aatau hasil karya, (4) Orisinalitas (Originality) yaitu kemampuan menciptakan ide-ide, hasil karya yang berbeda atau betul-betul baru, (5) Kompleksitas (Complexity) yaitu kemampuan memasukkan suatu konsep, ide, atau hasil karya yang sulit, ruwet, berlapis-lapis atau berlipat ganda ditinjau dari berbagai segi, (6) Kebaranian mengambil resiko (Risk-taking) yaitu kemampuan bertekad dalam mencoba sesuatu yang penuh resiko, (7) Imajinasi (Imagination) yaitu kemampuan untuk berimajinasi, menghayal, menciptakan barang-barang baru melalui percobaan yang dapat menghasilkan produk sederhana, dan (8) Rasa ingin tahu (Curiosity) yaitu kemampuan mencari, meneliti, mendalami, dan keinginan mengetahui tentang sesuatu lebih jauh.
Mengembangkan kemampuan berpikir kreatif sangat penting dalam pembelajaran Matematika. Beberapa alasannya diungkapkan oleh beberapa penulis, sesuai dengan yang dituliskan Munandar (1987:45-47 dalam Parwati 2005) adalah sbb: (1) Kreativitas merupakan manifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya dalam perwujudan dirinya, (2) Kreativitas atau berpikir kreatif, sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah dan (3) Bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat, tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu.
Lebih lanjut Isaken, Dorval & Treffinger (dalam Parnes 1992) mendefinisikan berpikir kreatif sebagai kemampuan untuk mengkonstruksi atau mengahasilkan berbagai
12
respon yang mungkin, ide-ide, opsi-opsi atau alternativ-alternativ untuk suatu permasalahan atau tantangan.
4. Contoh pengembangan kompetensi berpikir divergen, kritis, dan kreatif dalam pembelajaran Matematika
Setelah dibahas secara memadai pengertian serta definisi berpikir divergen, kritis dan kreatif, selanjutnya secara lebih konkrit mengembangkannya dalam pembelajaran Matematika. Dalam hal ini, kembali harus ditegaskan bahwa untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berpikir divergen, kritis dan kreatif maka perspektif baru perlu dikembangkan secara menyeluruh, dari tahapan perencanaan kurikulum, design model pembelajarannya, pengembangan perangkatnya, sampai asesmen dan evaluasi hasil belajarnya. Namun, dalam artikel ini hanya dipaparkan contoh pengembangan kemampuan berpikir divergen, kritis dan kreatif, beserta indikatornya, dilengkapi dengan contoh masalah Matematika terbuka. Melalui proses pemecahan masalah Matematika terbuka ini diharapkan peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikir divergen, kritis dan kreatif.
Tabel 1: Kemampuan berpikir divergen, kritis, dan kreatif serta indikatornya
No
Kompetensi Berpikir Divergen, Kritis dan Kreatif
Indikator
1
Investigasi konteks dan spektrum masalah
Menghasilkan berbagai pengandaian, permisalan, katagori, dan persepsi untuk memperluas/ mempersempit spektrum ide masalah.
2
Merumuskan masalah Matematika
Merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang memberi arah pemecahan untuk mengkonstruksi berbagai kemungkinan jawabannya.
3
Mengembangkan berbagai konsep pemecahan dan argumentasi yang reasonable
Menyusun berbagai konsep pemecahan/jawaban, merumuskan argumen-argumen yang masuk akal, menunjukkan perbedaan dan persamaannya.
4
Melakukan deduksi dan induksi
Mendeduksi secara logis, memberikan asumsi logis membuat proposisi, hipotesis, melakukan investigasi /pengumpulan data, membuat generalisasi data, membuat tabel, dan grafik, melakukan interprestasi terhadap pernyataan.
5
Melakukan evaluasi
Melakukan refleksi dan interpretasi kembali terhadap hasil dan proses pemecahan masalah yang telah dilakukan, untuk melihat sekali lagi lebih dalam, dan menemukan kemungkinan ide dan perspektif penyelesaian alternatif.
13
Berikut ini disajikan gambaran ringkas mengenai masalah Matematika tipe tertutup yang pada umumnya ditemukan dengan mudah pada buku-buku sekolah (lihat Tabel 2, contoh 1), dan rencana pengembangannya melalui pendekatan tematik berorientasi pemecahan masalah Matematika terbuka (Tabel 2, contoh 2), dalam rangka mengembangkan kompetensi siswa berpikir divergen, kritis, kreatif dan produktif.
Tabel 2: Pemecahan Masalah Matematika Tertutup:Mengembangkan Basic Skills
Kelas
Kompetensi dasar/Basic Skills
Masalah Matematika
Keterangan
Mulai
Kelas 3 SD
Terampil dalam melakukan operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian bilangan Cacah
Contoh 1
Seekor Sapi beratnya 12 kali berat badan Kambing. Jika berat badan seekor Kambing 30 kg, berapakah berat badan Sapi tersebut ?
􀂾 tanpa tema
􀂾 tertutup,
􀂾 jawaban tunggal
􀂾 Prosedur tunggal
Penjelasan Contoh 1:
Pada soal 1 ini, masalah Matematikanya telah disajikan secara explisit, prescribe dan predetermined, sehingga siswa gampang menjawabannya (immediate solution), sebab:
(a).Operasi Matematikanya sudah diberikan secara explisit, yaitu perkalian (perhatikan: seekor sapi beratnya 12 kali berat badan seekor kambing),
(b).Hubungan antara berat sapi dan berat kambing juga diberikan secara explisit yaitu 12 x,
(c).Berat seekor kambing juga diberikan secara explisit yaitu 30 kg,
(d).Ditanya: Berat Sapi
Dari analisis di atas, tampak bahwa untuk memecahkan masalah tersebut, siswa cukup memiliki keterampilan dalam mengalikan bilangan. Tidak ada prosedur lain, dan tak ada jawaban lain. Dengan unsur-unsur yang diketahui secara eksplisit di atas, jawaban siswa yang diharapkan adalah sebagai berikut:
(a) Diketahui: berat badan sapi = 12 x berat badan kambing
(b) Berat badan kambing = 30 kg
14
(c) Pertanyaan: berat badan sapi = ?(pertanyaan ini sangat konvergen, karena langsung mengarah secara explisit kepada apa-apa yang diketahui yaitu (a) dan (b))
(d) Penyelesaian: berat sapi = 12 x 30 kg =360 kg (cukup dengan melakukan substitusi pada (a), ini berarti, jawaban soal tunggal, prosedurnya pun tunggal, tidak ada kemungkinan jawaban lain).
Inilah yang disebut soal terutup (well structured problem) yang sering dijumpai dalam buku-buku pelajaran sekolah. Dalam pemecahannya siswa hanya memerlukan penggunaan ketrampilan dasar matematika (mathematical basic skill), sehingga kurang menuntut kemampuan berpikir divergen, kritis, kreatif dan produktif (creative & producktive thinking) dan pemecahan masalah (problem solving). Seperti terlihat dalam contoh 1, untuk dapat memecahkannya siswa cukup memiliki sedikit ketrampilan tentang perkalian bilangan. Selanjutnya semuanya sudah dinyatakan secara jelas dalam rumusan soal, sehingga siswa dapat dengan mudah menebaknya.
Untuk mengembangkan kompetensi berpikir tingkat tinggi,yaitu komptetensi berpikir divergen, kritis, dan kreatif, siswa sebaiknya “ditantang” dengan masalah yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga menuntut siswa untuk berpikir divergen, untuk melakukan investigasi terhadap berbagai konteks yang reasonable dan realistis. Untuk mencapai tujuan tersebut masalah pada contoh 1 tersebut hendaknya dimodifikasi dari tipe tertutup menjadi tipe terbuka. Agar masalah tersebut itu menjadi menarik dan dapat dikaitkan dengan segala kemungkinan pengalaman siswa, dari segala persepektif, maka hendaknya masalah itu dikemas dalam sebuah tema yang menarik. Dalam hal ini misalnya diambil Tema “Matematika dan Fauna” atau yang lainya, dengan Sub Tema misalnya, Matematika dan Pedagang, sepertiyang disajikan pada Tabel 3 berikut:
15
Tabel 3: Pemecahan Masalah Matematika Terbuka: Mengembangkan Kemampuan Tingkat Tingi (Berpikir Divergen, Kritis dan Kreatif )
Kelas
Kompetensi Tingkat Tinggi (Berpikir kritis, kreatif dan produktif)
Tema : Matematika dan Fauna
Subtema: Matematika dan Pedagang
Keterangan
Mulai
Kelas 3 SD
Menginvestigasi konteks masalah matemaka, berbagai prosedur pemecahan masalah, berbagai kemungkinan jawaban yang masuk akal, serta menyusun argumentasi yang sahih, berkaitan dengan masalah operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian bilangan Cacah
Contoh 2
Seekor sapi beratnya 360 Kg, berapa ekor kambing yang kamu perlukan agar jumlah semua berat badannya sama dengan berat badan sapi itu ?
Disajikan secara tematik
Terbuka,
Prosedur dan jawaban tak tunggal
Prosedur dan argumentasi jawaban tak tunggal
Memerlukan investigasi permasalahan secara divergen
Memerlukan pemikiran kritis
Memerlukan kreativitas
Penjelasan Contoh 2:
Pada soal ini masalah dirumuskan sedemikian rupa sehingga menuntut siswa untuk melakukan investigasi konteks, sebab tidak semua informasi diberikan secara eksplisit. Mengingat berat badan masing-masing kambing tidak diketahui, maka dalam penyelesaian masalahnya diperlukan kemampuan berpikir divergen, kritis dan kreatif untuk membuat pengandaian, asumsi dan keputusan matematis yang reasonable. Artinya, anak harus mengambil keputusan, misalnya dengan melakukan pengandaian-pengandaian yang realistik dan masuk akal. Anak harus membuat investigasi dalam menentukan pengandaian yang masuk akal, dan dapat dipertahankan baik nilai logis-matematisnya maupun nilai realitas-kontekstualnya. Misalnya, jika diandaikan bahwa berat badan kambing itu semuanya sama yaitu masing-masing 30 kg, maka soal bisa dipecahkan sebagai berikut.
16
Tabel 4: Alternatif Jawaban dan Prosedur Pertama: Basic Skills
Siswa dapat memisalkan berat ekor kambing sama dengan 30 kg dan melakukan coba-coba dengan penjumlahan berulang sebagai berikut: 30 + 30 + 30 + …+ 30 = 360 (diperlukan 12 ekor kambing)
Tabel 5: Alternatif Jawaban dan Prosedur Kedua: Kompetensi Tingkat Tinggi:
Berpikir Divergen, Kritis, dan Kreatif
Siswa yang sudah cukup paham dan terampil dengan konsep pembagian, dapat langsung menggunakan algoritma pembagian yaitu: 360 : 30 = 12, jadi diperlukan 12 ekor kambing dengan berat badan masing-masing 30 kg. Tetapi siswa bisa berpikir lebih divergen, kritis dan kreatif. Misalnya dengan mengkritis pengandaian yang baru saja dibuatnya, yaitu mengandaikan bahwa semua kambing beratnya sama yaitu 30 kg. Tentu saja pengandaiannya ini hanya masuk akal secara matematis (mathematically make sense and reasonable), tetapi nilai realitasnya masih perlu diuji dengan bertanya (kritis), apakah realistis mengandaikan semua kambing beratnya masing-masing sama? Dengan demikian siswa dapat berpikir lebih kreatif dengan membuat pengandaian yang lebih divergen, yaitu pengandaian-pengandaian yang lebih realistis. Misalnya sekian ekor kambing beratnya masing-masing 30 kg, sementara sekian ekor lainnya beratnya masing-masing 35 kg, atau mungkin juga mengandaikan bahwa semua kambing beratnya berbeda, dan sebagainya. Di sini tampak bahwa semakin naif (sederhana) pengandaian yang dibuat, semakin sederhana model matematika yang dihasilkan, dan semakin mudah dan sederhana pemecahannya, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis, kreatif dan produktif siswa dapat dilihat dari kemampuan mereka membuat pengandaian (asumsi dan rumusan awal masalah), membuat model matematika, dan memilih prosedur dan menyelesaikannya menjadi berbagai pemecahan yang masuk akal.
Tabel 6: Alternatif Jawaban dan Prosedur Ketiga
(Kompetensi Tingkat Tinggi: Berpikir Divergen, Kritis dan Kreatif)
Setelah siswa mengkritisi bahwa kurang realistis mengandaikan bahwa semua kambing beratnya sama (30 kg), maka mereka dapat membuat pengandaian-pengandaian lain yang lebih kreatif dan produktif. Salah satu kreativitas misalnya dengan membuat pengandaian yang lebih dekat dengan kenyataan misalnya; beberapa kambing beratnya masing-masing 30 kg, dan beberapa kambing lainnya beratnya masing-masing 40 kg. Pengandaian ini akan menghasilkan model matematika yang dapat dituliskan menjadi kalimat matematika terbuka: 3604030=Δ+<, atau dalam bahasa matematika formal 3604030=+yx, dengan x dan y bilangan bulat positif. Selesaiannya tentu lebih dari satu (sebuah persamaan dengan dua variabel memiliki tak berhingga banyaknya selesaian), namun perlu sekali lagi kemampuan kritis, untuk memilih selesaian-selesaian yang masuk akal, sebab y mempresentasikan banyaknya kambing yang beratnya masing-masing 40 kg. Dengan demikian x, dan y yang masuk akal adalah yang berupa bilangan bulat non negatif. Dengan demikian jawaban yang masuk akal adalah x = 4 dan y = 6, atau x = 8 dan y = 3, atau x = 12, dan y =0.
Pengandaian-pengandaian yang lebih kreatif misalnya, dengan mengandaikan bahwa kambing=kambing tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan berat badannya. Misalnya kelompok I memiliki berat badan sekitar 30 kg, kelompok ii sekitar 35, dan kelompok III sekitar 40 kg. Pengandaian ini tentu saja menghasilkan model metematika yang lebih realistis, tetapi penyelesaiannya tentu lebih sulit pula. Selesainya dapat ditentukan dengan menyelesaikan persamaan atau dalam bentuk persamaan matematika dengan 3 variabel x,y,z, yaitu 360403530=Δ+Θ+<360403530=++zyx
Dalam hal ini jelas terlihat bahwa bukan penyeselesaiannya yang menjadi tujuan, atau yang menjadi kriteria penilaian, tetapi bagaimana anak: (a) melakukan investigasi lebih dalam 17
terhadap masalah Matematika yang akan dipecahkan, kemudian, (b) membuat berbagai pengandaian (asumsi dan rumusan awal masalah) secara divergen, kritis, kreatif, dan produktif, dilanjutkan dengan, (c) membuat model Matematika, dan memilih prosedur dan strategi pemecahannya, (d) memecahkan model Matematika tersebut sesuai dengan prosedur dan strategi yang dipilih untuk menghasilkan berbagai pemecahan dan jawaban yang masuk akal, (e) merumuskan berbagai pemecahan dan jawaban yang masuk akal, beserta argumentasinya, (f) mengkaji ulang seluruh rangkaian pemecahan dari (a) sampai (e), kemudian, dan (g) mempresentasikan, dan mengkomunikasikan seluruh rangkaian pemecahan masalah dalam bentuk tulis maupun verbal, baik untuk mempertahankan seluruh ide, dan kreativitas, maupun untuk mendapatkan perbaikan dan pengayaan.
Secara umum untuk soal Matematika terbuka seperti contoh 2 di atas dapat diberikan catatan sebagai berikut.
(a) Tidak ada konsep, operasi atau prosedur Matematika yang diberikan secara explisit, siswa harus mengambil keputusan sendiri tentang konsep dan prosedur yang ingin dilakukan, mencermati dan menebak sendiri selesaian yang akan didapatkan. Konsep Matematika yang mungkin digunakan pada contoh ini misalnya: pembagian, perkalian, penjumlahan berulang, atau pun persaman terbuka dengan 2 atau 3 variabel berupa bilangan bulat non negatif, tergantung dari kecenderungan intelektual individual siswa, berdasarkan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman mereka.
(b) Ada data yang harus dilengkapi sendiri oleh siswa, dalam hal ini data tentang berat badan kambing. Ini memerlukan kemampuan siswa untuk berfikir kreatif dan produktif dalam mengambil keputusan yang beralasan (reasonable decision) atau membuat estimasi yang kuat (reasonable estimation), berupa pengandaian yang masuk akal terhadap berat badan kambing tadi.
18
Dari uraian dan analisa contoh masalah terbuka pada contoh 2 tadi, dapat dilihat betapa pentingnya penerapan pendekatan pembelajaran berorientasi masalah terbuka untuk meningkatkan kompetensi berfikir kritis, kreatif dan produktif siwa, dalam rangka peningkatan pemahaman siswa secara mendalam terhadap konsep-konsep Matematika, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan hasil belajar Matematika siswa itu sendiri. Alasannya adalah karena penerapan pembelajaran berdasar masalah terbuka seperti yang ditunjukkan secara jelas dalam contoh 2 tadi, membuka ruang selebar-lebarnya, untuk melatih dan mengembangkan semua komponen-komponen kompetensi ranah pemahaman yang meliputi: (a) mengerti konsep, prinsip dan ide-ide Matematika yang berhubungan dengan tugas Matematika (conceptual understanding), (b) memilih dan menyelenggarakan proses dan stretegi pemecahan masalah (processes and strategies), (c) menjelaskan dan mengkomunikasikan mengapa strategi itu berfungsi (reasoning and communication), dan (d) mengidentifikasi serta melihat kembali alasan-alasan mengapa selesaian dan prosedur menuju selesaian itu adalah benar (interpret reasonableness) (bandingkan Schoenfeld, 1994;1997; Sudiarta,2003b).
III. Kesimpulan dan Saran
Dari hasil kajian dan pembahasan disimpukan bahwa pembelajaran Matematika hendaknya tidak berhenti pada pencapaian mathematical basic skills, tetapi hendaknya dirancang untuk pencapaian kempetensi matematis tingkattinggi (high order thinking) yang antara lain meliputi kompetensi berpikir divergen, kritis, dan kreatif. Kompetensi ini sangat penting dalam era persaingan global ini, karena tingkat kompleksitas permasalahan dalam segala aspek kehidupan modern semakin tinggi. Jika Basic skills dalam pembelajaran Matematika biasanya dibentuk melalui aktivitas yang bersifat konvergen, yang umumnya berupa latihan-latihan Matematika yang bersifat algoritmik, mekanistik dan rutin, maka
19
kompetensi berpikir kritis, kreatif dan produktif dapat dikembangkan melalui aktivitas-aktivitas yang bersifat divergen, seperti berbagai model pemecahan masalah, terutama masalah yang disajikan secara tematik, kontekstual dan terbuka.
Pendekatan tematik akan memberi kesempatan kepada siswa untuk secara mendalam mengkaji topik-topik Matematika yang dikemas secara menarik dan kontekstual, sedangkan pemecahan masalah Matematika terbuka akan memberikan siswa kesempatan untuk melakukan investigasi maslah Matematika secara mendalam, sehingga dapat mengkonstruksi segala kemungkinan pemecahannya secara divergen, kritis, kreatif, dan produktif. Dalam proses pemecahan masalah matematika terbuka perlu ditekankan bahwa bukan selesaiannya yang menjadi tujuan, atau yang menjadi kriteria penilaian, tetapi bagaimana peserta didik sebagai problem solver melakukan aktivitas-akivitas secara divergen, kritis, dan kreatif, terutama dalam: (a) melakukan investigasi lebih dalam terhadap masalah metematika yang akan dipecahkan, kemudian, (b) membuat berbagai pengandaian (asumsi dan rumusan awal masalah) secara divergen, kritis, kreatif, dan produktif, dilanjutkan dengan, (c) membuat model matematika, dan memilih prosedur dan strategi pemecahannya, (d) memecahkan model matetika tersebut sesuai dengan prosedur dan strategi yang dipilih untuk menghasilkan berbagai pemecahan dan jawaban yang masuk akal, (e) merumuskan berbagai pemecahan dan jawaban yang masuk akan, beserta argumentasinya, (f) mengkaji ulang seluruh rangkaian pemecahan masalah dari (a) sampai (e), kemudian, (g) mempresentasikan, dan mengkomunikasikan seluruh rangkaian pemecahan masalah dalam bentuk tulis maupun verbal, baik untuk mempertahankan seluruh ide, dan kreativitas, maupun untuk mendapatkan perbaikan dan pengayaan
Dalam kajian ini secara teoritis berhasil dirumuskan, bagaimana contoh masalah Matematika yang disajikan secara tematik, kontekstual dan terbuka diharapkan dapat membangun kompetensi matematis tingkat tinggi siswa yang meliputi kompetensi berpikir
20
divergen, kritis, dan kreatif. Namun demikian, kajian dan contoh ini masih terlalu teoritis. Apakah kemampuan berpikir divergen, kritis dan kreatif siswa benar-benar dapat dibangun melalui model pemecahan masalah seperti contoh 2, perlu kiranya disarankan untuk dibuktikan di lapangan, misalnya melalui penelitian-penelitian lebih lanjut. Secara umum, inovasi pembelajaran Matematika dalam rangka mengembangkan kompetensi matematis tingkat tinggi merupakan tantangan bagi seluruh kalangan praktisi dan peneliti pendidikan matematika. Namun kiranya masih banyak yang perlu dikaji dan diteliti berkaitan dengan hal ini, misalnya bagaimana indikator-indikator yang benar-benar applicable dari kompetensi matematis tingkat tinggi tersebut, bagaimana mengukur dan menilainya, atau juga bagaimana model pembelajaran dan perangkat pendukung pembelajaran yang dapat membangun kompetensi tersebut dikalangan peserta didik. Pertanyaan-pertanyaan di akhir kajian ini dimaksudkan sebagai saran kepada para praktisi dan peneliti pendidikan matematika untuk memberikan kontribusi melalui pemikiran dan penelitian, bagaimana mengembangkan kompetensi matematis tingkat tinggi siswa, sehingga dapat bersaing di dunia internasional.
21
ACUAN PUSTAKA
Depdiknas, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi KEBIJAKSANAAN UMUM Pendidikan Dasar dan Menengah Jakarta.
Foong, P. Y. 2000. Using Short Open Ended Mathematics Question to Promote Thinking and Understanding, Singapore: NIE.
Freeman, C., & Sokoloff, H.J. 1995. Children learn to make a better world: Exploring themes.Childhood Education, 73, pp. 17-22.
Freeman, C., & Sokoloff, H.J. 1996. Toward a theory of theory of thematic curricula: Constructing new learning environments for teachers & learners. Education Policy Analysis Archives,3(14), pp. 1-19.
Freudenthal, H. 1991. Revisiting mathematics education. Dordrecht: Kluwer A.P.
Handal, B. 2000. Teaching in themes: is that easy? Reflections, 25(3), pp. 48-49.
Hiebert, J. & Carpenter, T.P. 1998. Problem Solving as a Basis for Reform of Curriculum and Instruction: The Case of Mathematics. Educational Research 25(4), 12-21.
Maturana, H.M & Varela,F.J 1984.. Der Baum der Erkenntnis: Die bilogischen Wurzeln menschlichen Erkennens. Muenchen: Scherz Verlag.
Parnes, S. J. 1992. Source book for creative problem solving. Buffalo, NY: Creative Education Foundation Press.
Parwati, 2005, Implementasi Model Pembelajaran Berdasarkan-Masalah dalam Rangka Mengefektifkan Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, IKIP Negeri Singaraja:Oktober 2005.
Perfetti, C.A., & Goldman, S.R. 1975. Discourse functions of thematization and topicalization.Journal of Psycholinguistic Research, 4(3), pp. 257-271. Research Group of Australasia Inc (pp. 265-272), Sydney: MERGA.
Schoenfeld, A. 1994. What do we know about curriculum?. In: the Journal of Mathematical Behaviour 13, p. 55-80.
Schoenfeld, A. 1997. Learning to think mathematically: Problem solving, metacogniton, and sense making in Mathematics. In: D.A. Grouws(Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and learning (pp 334-367), New York: Macmillan.
Shimada, S. & Becker, P., 1997. The Open-Ended Approach: A New Proposal for Teaching Mathematics. NY: NCTM.
Soedjadi, R. & Sutarto Hadi, 2004. PMRI dan KBK dalam Era Otonomi Pendidikan.
22
Schroeder, T.L., & Lester, F.K. 1989. Developing understanding in mathematics via problem solving. In P.R. Trafton (Ed.), New directions for elementary school mathematics (pp. 31-56). Reston:NCTM.
Sternberg, R. J. & Lubart, T. I. 1991. An investment theory of creativity and its development. Human Development, 34, 1-31.
Sudiarta, P. 2003a. Impulse der Schule des Konstruktivismus Fuer Neuere Konzepte des Lehrens und Lernens: Am Beispiel Mathematikunterricht. Dissertation: Uni Osnabrueck, Jerman.
Sudiarta, P. 2003b. Pembangunan Konsep Matematika Melalui "Open-Ended Problem": Studi Kasus Pada Sekolah Dasar Elisabeth Osnabrueck Jerman, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, IKIP Negeri Singaraja: Edisi Oktober 2003.
Sudiarta, P. 2005a, Pengembangan Kompetensi Berpikir Divergen dan Kritis Melalui Pemecahan Masalah Matematika Open-Ended, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Mei 2005.
Sudiarta, P. 2005b, Paradigma Baru Pembelajaran Matematika: Refleksi Terhadap Tuntutan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Juli 2005.
Sudiarta, P. 2005c, Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berorientasi Pemecahan Masalah Kontekstual Open-Ended, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Oktober 2005.
Upitis, R; Philip,E; Higgigson W, 1996. Assessment and Realistics Mathematics Education, Utrech: CD-B Press/Freudenthal Institut, Utrecht University
23
“THINKING CLASSROOM”
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH
Jozua Sabandar
Abstrak
Dalam belajar matematika orang harus berpikir, karena itu peserta didik harus difasilitasi agar mereka mau berpikir. Mathematical thinking classroom perlu dirancang agar proses berpikir dapat dipicu dan berkembang lewat adanya masalah matematika yang menantang dan tidak rutin sehingga peserta didik memiliki kebiasaan berpikir yang memadai dan memiliki ketrampilan berpikir yang memampukan mereka untuk menjadi kritis, kreatif dan reflektif. Guru berperan sebagai sutradara/disainer, fasilitator serta aktor yang efisien dan efektif dalam mathematical thinking classroom
Kata kunci: Mathematics thinking classroom, kritis, kreatif, reflektif
Pendahuluan
Belajar matematika berkaitan erat dengan aktivitas dan proses belajar dan berpikir. Hal tersebut bertalian erat dengan karakteristik matematika sebagai suatu ilmu dan human activity, yaitu bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logis, yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat. Oleh karena itu, tanpa meningkatkan dan mengandalkan pembelajaran matematika yang berkualitas yang menuntun siswa agar mau berpikir, akan sangat sulit untuk dapat tercapai kemampuan berpikir agar menghasilkan sebuah hasil prestasi belajar matematika yang baik. Dalam belajar matematika, hal ini tentu bukan suatu hal yang sederhana. Aktivitas dan proses berpikir akan terjadi apabila seorang individu berhadapan dengan suatu situasi atau masalah yang mendesak dan menantang serta dapat memicunya untuk berpikir agar diperoleh kejelasan dan solusi atau jawaban terhadap masalah yang dimunculkan dalam situasi yang dihadapinya.
Mengapa kemampuan berpikir perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika di kelas ataupun di luar kelas? Ada sementara orang (guru) yang
menganggap bahwa sudah cukup dengan mengajarkan rumus-rumus matematika dan dilanjutkan dengan meminta siswa mengahafalnya, agar nanti dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah. Anggapan seperti ini secara langsung mengurangi kesempatan bahkan meniadakan kesempatan bagi siswa untuk berlatih berpikir dalam pembelajaran matematika.
Paling sedikit, secara umum, ada beberapa alasan yang berkaitan dengan pentingnya kehadirian proses berpikir dalam proses pembelajaran matematika yang dapat menjadi pedoman dalam memunculkan jawaban terhadap pertanyaan di atas. Jawab terhadap pertanyaan tersebut antara lain: terdapat tuntutan dalam kurikulum yang berlaku untuk dicapainya kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif agar nantinya individu dapat menjawab tuntutan dalam rangka menyesuaikan diri dengan perkembangan peradaban, serta tuntutan dalam perbaharuan tentang standardisasi instrumen-instrumen tes yang mengukur kapasitas siswa secara aktif dalam mengaplikasikan pengetahuan. Juga terdapat perubahan pandangan mengenai tujuan pendidikan bahwa kemampuan berpikir harus menjadi tujuan yang penting dan utama dalam proses pembelajaran. Begitu juga terdapat fakta yang memaparkan bahwa pembelajaran yang monoton dengan cara tradisional tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa secara optimal, terdapatnya pandangan bahwa proses berpikir yang baik akan mengantarkan seseorang pada pemahaman yang lebih mendalam di berbagai disiplin ilmu, pandangan bahwa kecerdasan dapat dipelajari, sehingga tentu dapat pula diajarkan. Kajian secara mendalam dari ulasan-ulasan tersebut dapat ditemukan pada situs: http://learnweb.harvard.edu/ALPS/thinking/intro.cfm.
Alasan utama yang lainnya terkait dengan paradigma bahwa efektifitas proses pembelajaran berkaitan erat dengan prinsip pembelajaran student-centered learning dan self-regulated learning, bahwa dalam kegiatan belajar siswa harus menjadi individu yang aktif dalam membentuk pengetahuan, dapat menentukan sendiri proses belajarnya, memilih pengalaman belajar serta pengetahuan utama yang ingin dicapainya. Selain itu, terdapat pandangan bahwa pembelajaran dikatakan efektif adalah ketika siswa dapat lebih berkembang dengan memanfaatkan informasi yang telah diterima atau dikenal dengan istilah “Going beyond the information given”, misalnya melihat di balik apa yang tertulis, sehingga siswa dapat menggunakan pengetahuan yang baru secara aktif untuk
mengkonstruksi makna (Bruner, 1973). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada proses pembelajaran yang efektif, siswa tidak sekadar menjadi penerima informasi yang pasif melainkan harus berpikir kritis dan kreatif tentang topik yang dipelajari. Pada kesempatan seperti ini siswa berkesempatan memberdayakan apa yang telah diketahuinya, sehingga pengetahuan ysng telah dimilikinya berkesempatan untuk disegarkan.
Selain alasan-alasan umum yang dikemukakan di atas, secara khusus mengembangkan kemampuan berpikir mutlak diperlukan dalam kelas matematika yang mana matematika memiliki karakteristik sebagai suatu cabang ilmu yang objek kajiannya bersifat abstrak serta berkaitan dengan pola berpikir. Matematika bukan hanya sekumpulan rumus saja atau kegiatan berhitung semata, melainkan matematika juga adalah suatu ilmu yang memiliki objek kajian berupa ide-ide, gagasan-gagasan serta konsep yang abstrak serta hubungan-hubungannya, yang pengembangannya terangkai dalam suatu proses yang terstruktur dan logis dengan menggunakan istilah-istilah dan simbol-simbol khusus. Dengan karakteristik seperti ini suatu konsep matematika harus dikenalkan kepada siswa melalui serangkaian proses berpikir, dan bukan dikenalkan sebagai suatu produk jadi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran matematika. Siswa yang telah belajar matematika diharapkan bukan hanya menghafal rumus dan prosedur untuk menyelesaikan soal-soal matematika saja namun memiliki pemahaman dan kemampuan berpikir yang logis dan baik yang terintegrasi atau menyatu menjadi bagian dalam diri siswa dan kelak dapat berguna dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan siswa tersebut.
Untuk itu diperlukan upaya guru secara sengaja agar terwujud dan tercipta suasana pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk dapat mengalami proses berpikir dalam belajar matematika di kelas. Suatu kelas yang potensial dalam mengembangkan kemampuan berpikir matematika ini, dikatakan sebagai suatu kelas yang berpikir atau “ Mathematical Thinking classroom”. Uraian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana menciptakan suatu “Thinking classroom” dalam pembelajaran matematika. Diharapkan dengan cara mengkaji tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menciptakan ”Thinking classroom” dapat menjadi suatu referensi serta wacana bagi para praktisi pendidikan matematika dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran agar lebih efektif dan efisien dan hasil belajar matematika menjadi lebih baik.
Pembahasan
1. Thinking Classroom
Istilah ”Thinking Classroom” dapat diartikan sebagai sebuah kelas yang berpikir atau suatu kelas yang difasilitasi sedemikan rupa dengan kegiatan belajar yang mengutamakan proses berpikir. Dalam suatu kelas yang berpikir kualitas pembelajaran matematika, antara lain bergantung pada seberapa baik siswa dan guru memahami tentang apa yang sedang dan harus mereka lakukan/kerjakan. Dalam hal ini aspek yang terkait dengan konsep ”Thinking Classroom” berhubungan dengan belief bahwa dalam belajar seseorang harus mengalami proses berpikir yang baik, serta proses berpikir yang baik dapat dipelajari oleh seluruh siswa, dan adanya keyakinan bahwa pembelajaran harus melibatkan pemahaman yang mendalam serta menggunakan pengetahuan yang baru secara aktif dan fleksibel.
Berkaitan dengan hal tersebut maka peran guru dalam proses pembelajaran memegang kunci utama agar proses berpikir siswa dapat berlangsung dengan baik di dalam kelas. Dalam hal ini peran guru dapat dipandang sebagai seorang sutradara yang mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan perangkat pembelajaran di kelas sekaligus sebagai seorang aktor yang berperan langsung dalam proses pembelajaran di kelas. Sebagai seorang sutradara pembelajaran yang baik, guru harus memiliki kompetensi yang baik dalam bidangnya, menguasai berbagai model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaran serta dapat memahami konten kurikulum untuk diaplikasikan. Sedangkan sebagai seorang aktor ketika proses pembelajaran berlangsung, guru harus dapat memberi respon yang tepat terhadap setiap tindakan siswa di dalam kelas. Guru harus selalu siap dengan tindakan-tindakan spontan siswa di dalam kelas yang pada awalnya tidak diantisipasi akan muncul pada saat penyusunan skenario pembelajaran. Secara keseluruhan guru harus dapat menyusun dan membangun suatu situasi yang kondusif agar proses berpikir berjalan dengan baik pada proses pembelajaran.
Dalam kelas diperlukan adanya situasi-situasi dan masalah-masalah yang menantang namun menarik sehingga dapat menimbulkan rasa ingin tahu sekaligus memicu siswa untuk mau berpikir. Situasi dan masalah ini haruslah dipersiapkan atau diciptakan oleh guru. Namun pada saat yang sama guru harus siap untuk mengantisipasi
berbagai masalah yang dapat terjadi di kelas untuk menjamin keberlangsungan proses berpikir siswa. Hal ini dikarenakan bahwa dapat saja terjadi suatu situasi yang sulit pada saat siswa tidak dapat berpikir karena kurangnya informasi atau kurangnya pemahaman konsep yang dapat membantu mereka untuk tetap berpikir. Beberapa hal yang harus dicermati oleh guru agar dapat tercipta suatu situasi yang mendukung berhasilnya proses pembelajaran, diantaranya guru harus mampu:
• Menterjemahkan dokumen kurikulum ke dalam praktik pembelajaran di kelas dengan tepat.
• Menciptakan bahan ajar yang memungkinkan tersedianya cukup banyak celah bagi siswa untuk berpikir, sehingga siswa tidak sekadar menerima informasi yang sudah jadi dan menghafal saja.
• Memahami dan menguasai berbagai model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaran yang dapat memicu berlangsungnya proses berpikir di dalam kelas.
• Menyusun seperangkat alat ukur dan alat evaluasi yang dapat mengukur kemampuan berpikir setiap siswa
• Membuat Learning tasks yang dapat memicu perilaku kritis dan kreatif siswa
• Memiliki kemampuan bertanya yang baik untuk dapat membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan membantu siswa untuk mau terlibat dalam suatu situasi berpikir yang baik
• Mengantisipasi dan siap dengan respons-respons untuk memfasilitasi siswa manakala siswa mengalami hambatan dalam proses berpikir.
• Mengantisipasi akan terdapatnya perbedaan pendapat siswa.
• Menyiapkan reward pada siswa untuk menghargai usaha siswa
Thinking classroom juga terkait erat dengan thinking curriculum. Kurikulum harus dirancang oleh guru sedemikian agar dapat memberi kesempatan terjadinya dan berlangsungnya proses berpikir. Kurikulum merupakan dasar bagi proses pembelajaran yang diharapkan berlangsung dengan berkualitas di kelas. Guru harus mampu menterjemahkan konten kurikulum menjadi sebuah skenario pembelajaran sehingga
memunculkan suatu situasi yang berpotensi memicu siswa untuk berpikir. Bahkan akan lebih baik jika situasi yang timbul tersebut dapat “memaksa” siswa untuk berpikir sekalipun mereka tidak ingin berpikir. Hal ini berarti bahwa peran guru baik sebagai seorang “sutradara” maupun “aktor” dalam proses pembelajaran merupakan peran yang tidak dapat dipisahkan. Kedua peran tersebut harus saling bersinergi untuk menciptakan suatu kelas yang kondusif bagi siswa untuk dapat berpikir.
Sebagai fasilitator guru siap dan bertanggungjawab untuk menciptakan suasana atau situasi yang memungkinkan terjadinya proses berpikir pada diri siswa. Dengan kata lain, guru harus dapat memfasilitasi siswa untuk berpikir. Kegiatan berpikir di dalam kelas tidak terlepas jauh dari aktivitas berpikir kreatif dan berpikir kritis seperti yang diungkapkan pada situs http://learnweb.harvard.edu/ALPS/thinking/intro.cfm.
2. Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika
Untuk mewujudkan suatu situasi yang potensial untuk siswa berpikir tersebut perlu diperhatikan aspek yang cukup signifikan, yaitu belief dari seorang guru tentang matematika. Belief dari siswa tentang matematika secara otomatis akan sangat bergantung pada belief seorang guru, karena belief seorang guru akan berpengaruh pada proses pembelajaran yang berlangsung. Belief ini akan berkaitan dengan aktivitas dan proses belajar matematika di dalam kelas. Belief tersebut secara tersirat akan mewarnai implementasi berbagai ide, pemikiran serta tugas yang guru sediakan kepada siswa.
Matematika yang diajarkan di kelas bertujuan agar tercapai hasil belajar siswa dalam bentuk kompetensi-kompetensi matematika, yaitu kemampuan koneksi, komunikasi, penalaran, pemecahan masalah, representasi matematika. Dalam keseluruhan kompetensi ini, terintegrasi kemampuan pemahaman matematika. Seluruh kompetensi tersebut merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dalam matematika serta merupakan bagian integral dari aktivitas dan proses berpikir dalam pembelajaran matematika.
Matematika dimunculkan dari berbagai fenomena, situasi yang sederhana yang kemudian memunculkan masalah atau pertanyaan yang dalam upaya mencari solusinya
dijalani suatu proses informal untuk kemudian mengalami proses penyempurnaan dan berakhir dengan suatu hal yang bersifat general dan formal. Atau dapat pula dikatakan matematika berawal dari suatu upaya menjawab suatu pertanyaan yang didekati dan diselesaikan dengan cara yang tidak formal dan selanjutnya menjadi formal, sesuatu yang belum terstruktur menjadi sesuatu yang terstruktur atau dari suatu proses induktif menuju proses deduktif. Misalnya, penggunaan berbagai model terhadap situasi dalam menuju pada matematika yang formal merupakan suatu yang esensial. Artinya, model dapat dipandang sebagai suatu alat atau jembatan (Gravemeijer, 1994 ) yang menghubungkan bagian konkret ataupun informal dengan bagian abstrak atau bagian formal, misalnya rumus atau teorema. Keberagaman model yang dapat bertransisi dari konkrit, semi konkrit sampai ke model abstrak adalah ciri dari perjalanan matematika dari suatu situasi yang pada awalnya tidak terstruktur kemudian menjadi sesuatu yang terstruktur dan formal. Hal ini dapat dipahami karena seringkali kesulitan orang dalam mempelajari matematika dikaitkan dengan apa yang dipandang sebagai suatu gap (jurang) diantara kehidupan (pengalaman) kesehariannya dengan apa yang dikenal sebagai matematika formal (Gravemeijer, 1999).
Seorang yang belajar matematika diharapkan dapat berkembang menjadi individu yang mampu berpikir kritis dan kreatif untuk menjamin bahwa dia berada pada jalur yang benar dalam memecahkan persoalan matematika yang dihadapi atau materi matematika yang sedang dipelajarinya, serta menjamin kebenaran proses berpikir yang berlangsung. Dengan senantiasa menjadi individu kritis dalam mempelajari matematika, seseorang akan terpicu menjadi kreatif, karena untuk mendapatkan kejelasan atau membedakan antara yang benar dan yang salah (Schneider, 1999) sehingga ia akan berusaha mencari solusi dengan menggunakan berbagai strategi alternatif. Berpikir kritis menuntut adanya usaha serta memerlukan adanya rasa peduli tentang keakurasian dan adanya kemauan dan tidak mudah menyerah (ngotot) ketika menghadapi tugas yang sulit (Sternberg, Roediger, dan Halpren, 2007). Demikianpun, dari orang yang berpikir kritis ini diperlukan adanya suatu sikap keterbukaan terhadap ide-ide baru. Memang hal ini bukan suatu yang mudah, namun harus dan tetap dilaksanakan dalam upaya mengembangkan kemampuan berpikir.
Berpikir kritis dalam matematika dapat diinterpretasi dalam berbagai cara. Beberapa ahli memandang berpikir kritis sebagai suatu indra evaluatif yang digunakan untuk menentukan kualitas suatu keputusan atau argumen. Pandangan lain, berpikir kritis sebagai suatu indera generatif yang menekankan pada kreativitas dan keaslian dalam mendesain suatu produk atau menciptakan solusi dari suatu masalah. Sedangkan, menurut Glazer (2001) yang dimaksud dengan berpikir kritits dalam matematika adalah kemampuan dan disposisi untuk melibatkan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematis, dan strategi kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan atau mengevaluasi situasi matematis yang kurang dikenal dalam cara yang reflektif.
Seluruh aspek-aspek yang dijelaskan di atas haruslah terakomodasi dengan baik dalam suatu proses pembelajaran matematika yang dikemas secara sengaja dan terencana dengan baik oleh guru. Gurupun harus dapat mengantisipasi keadaan yang dapat muncul ketika menggiring siswa untuk berpikir, dimana guru dapat menyiasati bagaimana menjaga agar proses berpikir matematika tetap berlangsung dan berlanjut.
Ketika proses berpikir sudah berlangsung dalam kelas, guru hendaknya tetap merupakan bagian sentral dalam kegiatan yang mengedepankan aktivitas berpikir matematika siswa. Guru hendaknya tidak lengah karena ia perlu memerhatikan proses berpikir ini jangan sampai terhenti sama sekali atau keluar jalur terlalu jauh. Untuk itu diperlukan peran guru sebagai seorang fasilitator. Hal ini juga diperlukan ketika siswa yang karena alasan tertentu terpaksa terhambat atau berhenti berpikir, misalnya karena mengalami kesulitan ataupun ketika siswa mengalami bermacam konflik kognitif. Jika hal ini dibiarkan siswa akan kehilangan minat berpikir, dan usaha membangun suasana berpikir sejak awal lalu menjadi sia-sia.
Beberapa hal yang dipandang perlu dikuasai dan dilakukan oleh guru sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan tidak terjadinya atau terhambatnya proses berpikir ini adalah penggunaan teknik-teknik berikut:
1. Teknik prompting
2. Teknik probing
3. Teknik Scafolding
4. Teknik cognitive conflict
5. Antisipasi kesulitan yang mungkin muncul.
Keempat teknik pertama tadi dapat dikategorikan sebagai cognitive intervention yang bisa dilakukan guru, baik diminta ataupun tidak agar proses berpikir dapat tetap berlangsung.
3. Berpikir dalam Pembelajaran Matematika
Berpikir dalam matematika diharapkan menghasilkan beberapa kemampuan. Berdasarkan tingkatannya, kemampuan berpikir dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu reproduksi, koneksi, dan analisis (Shafer, Foster, 1997). Dalam tingkatan reproduksi individu mendemonstrasikan kemampuan mengenal/mengetahui fakta dasar, menggunakan algoritma, dan mengembangkan ketrampilan teknis. Kemampuan ini umumnya dijumpai dalam diri banyak siswa, misalnya dalam bentuk menghafal dan menggunakan rumus atau teorema. Pada tingkat koneksi, individu dapat mendemonstrasikan kemampuan untuk mengintegrasi informasi, membuat keterkaitan diantara konsep-konsep matematika, memilih rumus/strategi yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan suatu masalah matematika, mencari solusi terhadap masalah yang non rutin. Sedangkan pada tingkat analisis, siswa dapat melakukan matematisasi, menganalisis (perbandingan, perbedaan dan analogi), melakukan interpretasi, mengembangkan model dan strategi sendiri, mengemukakan argumentasi ataupun bernalar secara logis, menemukan pola umum, konjektur serta membuat generalisasi secara formal, misalnya melakukan pembuktian.
Ditinjau dari proses, dapat dikatakan bahwa berpikir secara matematis diawali oleh adanya suatu pertanyaan, bagaimana merespons/menjawab pertanyaan itu secara efektif, dan selanjutnya bagaimana kita belajar dari pengalaman ketika sedang berusaha untuk mencari penyelesaian terhadap pertanyaan tersebut (Mason, Burton, Stacey 1996). Dapat juga dikatakan bahwa tahap berpikir ini pada umumnya melalui tiga fase, yaitu memahami konteks dan permasalahan (apa yang sesungguhnya diketahui dan apa yang ditanyakan, memilih strategi atau prosedur yang mungkin), keputusan untuk menggunakan ide/strategi tertentu untuk mencari
solusi yang bisa saja tidak berhasil. Dalam hal ini individu harus kembali ke fase awal dan memikirkan strategi yang baru. Selanjutnya pada tahap berikut, setelah solusi ditemukan, suasana hati dari individu yang bersangkutan lalu berubah, untuk memeriksa kembali hasil perkerjaan agar yakin tidak terdapat kesalahan yang dibuat, ataupun dapat menyelesaikan soal tersebut dengan cara lain, misalnya lebih singkat. Hal ini dilanjutkan dengan melakukan refleksi terhadap apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan, misalnya apakah strategi yang berhasil tadi dapat diterapkan dalam situasi serupa, dan mempersiapkan untuk perluasan terhadap masalah untuk level yang lebih kompleks (Tall, 2002). Hal ini menggambarkan bahwa proses berpikir sesungguhnya tidak harus berakhir ketika jawaban diperoleh terhadap suatu masalah yang memerlukan pemikiran itu. Ini menandakan adanya suatu proses yang berkembang secara berkesinambungan sehingga menuju ke ketuntasan belajar (Sabandar, 2008). Artinya situasi dan masalah (tertanyaan) tersebut dapat dilihat dengan cara lain, atau diselesaikan dengan menggunakan konsep dan cara yang berbeda, ataupun apa yang sudah dihasilkan itu dapat direvisi dengan cara yang detail dan terstruktur dengan lebih baik lagi sehingga menjadi lebih jelas jika individu ingin membaca atau ingin mempelajarinya secara lebih detail.
Contoh dari proses yang diuraikan tadi dapat dijumpai dalam suatu situasi seperti berikut ini.
Ketika seorang mahasiswa dihadapkan pada suatu situasi atau masalah seperti berikut; bagaimana dia membagi sebuah segitiga sembarang atas tiga bagian yang sama luasnya. Pada tahap entry ia mulai mencerna/mengkaji permasalahan tersebut, melihat unsur-unsur yang diketahui berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai. Situasi ini mengindikasikan bahwa pebelajar berada pada fase reproduksi dari proses berpikir menurut Shafer dan Foster, yaitu mengenal fakta-fakta dasar. Selanjutnya ia tentu mulai memikirkan strategi yang mungkin ia digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut serta langkah-langkah awal yang harus dilakukan. Misalnya, ia berhasil menyelesaikan masalah tersebut dengan mudah, yaitu dengan cara membagi sisi BC dari ABC atas tiga ruas garis yang sama panjang oleh D dan E, kemudian membuat daerah-daerah segitiga baru yang merupakan bagian dari segitiga semula dengan menghubungkan D dan E dengan A yaitu titik sudut yang berada tepat Δ
dihadapan sisi BC tersebut. Maka terbentuk tiga daerah segitiga baru dengan luas yang sama. Hal ini dapat dengan mudah dan cepat dilakukan dengan memanfaatkan software geometri dinamis Geometers’ Sketchpad. Berikut ilustrasinya
ABCEDArea(Polygon ADI) = 30.0 square cmArea(Polygon ADE) = 30.0 square cmArea(Polygon AEC) = 30.0 square cm
Pada saat ia menentukan strategi maka ia mulai melakukan tindakan attact, memasuki fase kedua dalam berpikir, yaitu connection, mencoba menghubungkan konsep garis berat dengan konsep luas segitiga serta membuat keputusan untuk menggunakan srategi tertentu yang sudah dipertimbangkan mungkin digunakan untuk menyelesaikan masalah serta memilih alat bantu berupa yang tepat yaitu software geometri dinamis Geometers’ Sketchpad (GSP) mempermudah penyelesaian. Dengan bantuan GSP proses menganalisis, membuat interpretasi, mengembangkan model dan strategi yang merupakan bagian dari kemampuan berpikir pada fase analysis menjadi lebih efisien pada kasus ini.
Setelah masalah dapat diselesaikan dengan suatu strategi, maka muncul pertanyaan, ”Apakah terdapat strategi/cara lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah ini?”. Dengan demikian proses berpikir kembali kepada tahap awal yaitu, entry, indvidu mulai memikirkan strategi baru. Kemudian individu tersebut menemukan bahwa dengan memanfaatkan konsep perpotongan seluruh garis
berat dalam segitiga ternyata dapat pula ditemukan tiga daerah segitiga yang memiliki luas sama dalam sebuah segitiga. Berikut ilustrasi yang dibuat menggunakan software dinamis geometri Geometers’ Sketchpad.
Sebuah segitiga sebarang ABC dapat dibagi menjadi tiga bagian yang memiliki luas sama dengan bentuk segitiga pula dengan menggunakan bantuan garis berat-garis berat AE, BD dan CF yang berpotongan di H, sehingga dapat dibentuk ΔAHB, ΔBHC dan Δ AHC. Hal ini dengan mudah dapat diperiksa dengan menggunakan Software The Geometers’ Sketchpad, seperti berikut.
ABCDEFHArea(Polygon AHB) = 29.3 square cmArea(Polygon AHC) = 29.3 square cmArea(Polygon BHC) = 29.3 square cm
Selanjutnya, dengan cara memanfaatkan titik tengah sisi-sisi segitiga dan titik potong garis berat pada segitiga ABC, yaitu titik H, dapat dibuat tiga segiempat ADHF, BFHE dan CDHE yang mempunyai luas daerah yang sama yang membentuk daerah segitiga ABC. Seperti terlihat dalam ilustrasi pada gambar berikut;
ABCDEFHArea(Polygon BFHE) = 29.3 square cmArea(Polygon CDHE) = 29.3 square cmArea(Polygon ADHF) = 29.3 square cm
Setelah tahap ini, proses berpikir dapat dikembangkan secara berkesinambungan hingga ke level yang lebih tinggi. Setelah permasalahan awal terjawab, seyogianya proses berpikir tidak terhenti sampai di sini. Dengan mengajukan pertanyaan lebih lanjut seperti berikut; ”Bagaimana membuktikan secara formal bahwa ketiga strategi tersebut dapat digunakan untuk membagi sebuah segitiga menjadi tiga daerah yang memiliki luas daerah yang sama?” dapat memicu individu berpikir lebih lanjut sehingga kegiatan berpikir tidak berhenti bahkan kualitasnya meningkat ke level yang lebih tinggi.
Proses berpikir yang berlangsung dengan baik, dapat pula menumbuhkan motivasi dan atau disposisi matematika pada para mahasiswa. Dari permasalahan di atas, ternyata ditemui seorang mahasiswa yang kemudian mengajukan pertanyaan lebih lanjut, ”Bagaimana bila sebuah segitiga akan dibagi menjadi dua bagian yang memiliki luas sama oleh sebuah garis yang sejajar dengan alasnya (salah satu sisi segitiga)?” Tentunya permasalahan ini sedikit lebih kompleks dari permasalahan awal, walaupun masih dalam konteks membagi suatu daerah segitiga, karena pada tahap ini diperlukan kemampuan menghubungkan konsep segitiga dengan konsep jajartengah, luas segitiga dan konsep perbandingan luas daerah. Pada tahap ini proses berpikir sudah mulai berkembang secara otomatis tanpa intervensi langsung dari dosen.
Secara analitik permasalahan tersebut tentu tidaklah terlalu rumit, dengan sedikit analisis, dapat diketahui bahwa segitiga akan terbagi menjadi dua daerah yang sama besar
oleh sebuah garis yang sejajar dengan salah satu sisi segitiga, bila dapat dikonstruksi garis yang sejajar dengan sisi segitiga itu dan memiliki panjang 21 dari panjang sisi itu.
Bila pertanyaan hanya berakhir pada “berapa panjang garis yang membagi segitiga menjadi dua daerah yang sama besar?” maka jawaban dapat ditemukan dengan cepat. Permasalahan akan menjadi lebih menantang dan menarik ketika diajukan pertanyaan lebih lanjut tentang bagaimana mengonstruksi garis tersebut. Pengajuan pertanyaan dapat dilakukan secara sengaja untuk mempertahankan agar proses berpikir dapat berlanjut.
ABCOIHJLKNMSQPArea(Polygon BCA) = 68.0 square cmArea(Polygon BCA) = 68.0 square cmArea(Polygon PQA) = 34.0 square cm
Pada gambar ini, konstruksi dilakukan dengan menggunakan Geometers’Sketchpad. Garis PQ sejajar sisi BC dari ΔABC, dan membagi ABC menjadi dua bagian yang sama luasnya, atau luasΔΔAPQ = ½ luas ABC. Tentu luas trapesium BCQP = luas APQ. ΔΔ
Dengan mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat serta ditunjang dengan penyediaan sarana yang dapat memicu berpikir (seperti dalam kasus ini adalah software pembelajaran geometri Geometers’ Sketchpad), mahasiswa dapat
mengembangkan kemampuan berpikir lebih baik dan lebih cepat sehingga dapat tercapai ketuntasan belajar. Selain itu diharapkan bahwa proses berpikir ini kelak akan menjadi suatu kebiasaan yang terbawa oleh mahasiswa atau siswa setelah proses belajar berakhir.
Ilustrasi tersebut merupakan contoh tentang serangkaian aktivitas bagaimana suatu proses berpikir berlangsung pada diri mahasiswa ataupun siswa, dari tahap awal, yaitu entry, dilanjutkan hingga attact dan review yang melibatkan berbagai aktivitas kognitif. Dengan sebuah proses berpikir yang berkesinambungan seperti itu, sangat besar kemungkinan dicapai ketuntasan belajar.
Selain itu, berpikir juga dapat muncul diawali oleh adanya kepekaan terhadap suatu situasi yang mengandung masalah/pertanyaan yang ingin dicari jawaban atau solusinya. Jika individu yang sedang belajar dituntut untuk menyelesaikan masalah itu dengan suatu cara yang relatif baru baginya, maka ini berarti individu dituntut untuk bersikap/berpikir kreatif. Beberapa hal yang terkait dengan berpikir kreatif antara lain;
• Kepekaan
• Originalitas
• Kelancaran
• Keluwesan (Evans, 1991)
• Elaborasi/penyempurnaan/detail/rinci (Fisher, 1990)
Kepekaan atau sensitivity dapat dimunculkan lewat pemahaman terhadap situasi dan pemahaman terhadap apa yang ingin dicapai atau tujuan dari permasalahan tersebut. Kepekaan diperoleh ketika individu pembelajar mengetahui serta dapat memanfaatkan fakta informasi yang terdapat dalam situasi tersebut, mencari informasi-informasi yang terkait dengan yang telah ditemukan dari masalah tersebut. Jika dikaitkan dengan fase berpikir maka proses ini berlangsung pada fase entry. Ia dapat bertanya apa yang dapat ia lakukan dengan informasi yang tersedia, dan yang ada di balik informasi itu.
Originalitas dapat dimunculkan jika diinginkan bahwa ide atau strategi yang akan digunakan oleh individu pembelajar untuk mengkaji masalah itu adalah suatu strategi yang relatif baru bagi individu yang bersangkutan, suatu strategi yang berbeda dari strategi yang biasa ia gunakan ataupun orang lain gunakan. Hal ini harus secara eksplisit dimunculkan pada soal atau perintah, misalnya individu diminta untuk menyelesaikan
soal dengan cara yang tidak lazim digunakan. Mencermati karakteristik dari aspek orisinalitas, maka proses ini berlangsung pada fase review. Dan ini tentu merupakan suatu tantangan.
Momentum pada proses berpikir perlu dipertahankan. Tidak sering ketika individu sedang berpikir untuk menyelesaikan suatu masalah ia mengalami kebuntuan. Ketika kebuntuan ini muncul dan tidak diupayakan adanya tindakan / langkah yang tepat, maka proses berikir dapat terhenti. Untuk ini, individu dapat segera bertindak untuk mencoba menggunakan strategi-strategi lain, dan tidak hanya bertahan pada strategi yang tidak membawanya pada solusi. Ini merupakan suatu usaha untuk mempertahankan kelancaran (fluency) dalam berpikir. Hal ini dimungkinkan karena sejak awal tentu diharapkan telah secara garis besar ada beberapa strategi yang berpeluang untuk digunakan dalam memikirkan penyelesaian. Fleksibilitas ini dapat dipertahankan dengan cara menuliskan suatu rubrik (Mason, Burton, Stacey 1996) tentang apa yang sudah dikerjakan namun belum berhasil, ataupun gagasan apa yang dapat digunakan untuk memikirkan penyelesaian dari masalah itu. Hanya dengan membuat rubrik, maka individu dapat melacak apa yang telah dikerjakan dan dipikirkan, sehingga ketika ia siap lagi ia dapat melanjutkan proses berpikirnya.
Keberhasilan dalam menemukan solusi perlu ditindak lanjuti dengan upaya untuk menyelesaikan masalah yang sama dengan cara lain atau beragam cara (flexibility). Hal ini amat dimungkinkan, oleh karena pilihan masalah yang tepat merupakan suatu syarat yang dapat memicu siswa berpikir divergen. Artinya guru memfasilitasi aktifitas belajar dengan soal yang menantang siswa serta menarik, agar terdapat kesempatan agar soal itu diselesaikan dengan cara–cara yang lain ketika solusi telah diperoleh. Selain itu keterkaitan diantara konsep matematika adalah salah satu karakteristik matematika. Permasalahan yang telah diperoleh solusinya dapat diperluas (extended) dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ”What if.....”, ”Is there another way?” Fleksibilitas adalah suatu pola pikir yang tidak hanya terpaku pada satu cara, atau pola pikir yang tidak memandang bahwa hanya ada satu jawab yang benar atau hanya ada satu cara yang benar sedangkan cara lain adalah tidak/kurang tepat. Pola fleksibilitas sesungguhnya perlu dimunculkan dalam proses berpikir matematika sehingga individu akan terlatih
untuk melihat dan menyelesaikan masalah dari perspektif yang berbeda yang selanjutnya dapat menumbuhkan self eficcacy (rasa yakin akan kemampuan diri sendiri).
Proses berpikir seperti ini perlu ditindaklanjuti pada tahap elaborasi (rinci/sempurna) dengan cara menata solusi-solusi yang ada, membandingkan, mencari generalisasi ataupun menganalisis strategi/cara-cara yang efektif dan efisien.
Elaborasi merupakan bagian dari proses berpikir dimana suatu ide/solusi yang original akan muncul dengan sangat cepat dan individu perlu merespons secara cepat sebelum ide itu menjadi lapuk. Karena itu seringkali solusi atau ide itu dimunculkan pada kertas (buram). Disini hanya terlihat langkah-langkah penting secara garis besar. Namun untuk keperluan mempelajari lagi solusi itu untuk tujuan-tujuan lanjutan, maka diperlukan agar ada proses elaborasi. Dalam proses ini, hasil pemikiran individu yang original dan secara garis besar itu ditata dengan lebih rinci dan distruktur secara sistematis. Hal ini akan membantunya ataupun orang lain di kelas untuk dapat memahaminya ketika mereka membaca. Disamping itu, proses berpikir akan menjadi lebih lengkap karena individu menuliskan atau mengungkapkan pemikirannya dengan lengkap dan detail yang secara langsung mengakomodasikannya di dalam memorinya.
Berikut adalah sebuah contoh bagaimana sebuah proses berpikir dapat dimulai oleh adanya suatu kepekaan terhadap suatu masalah serta informasi yang ada, yang diharapkan dapat mengungkapkan adanya aspek sensitivity dari individu pembelajar dalam proses berpikir kreatif;
”Sebuah bilangan bulat positif terdiri dari dua angka. Bilangan tersebut sama dengan 7 kali jumlah dari dua angka tersebut. Jika kedudukan angka-angka tersebut bertukar tempat maka bilangan yang terjadi sama dengan 18 lebih besar dari jumlah dua angka tersebut. Tentukanlah bilangan tersebut!”
Soal tersebut dapat saja dijawab secara analitis dengan menggunakan variabel-variabel dan prosedur yang biasa digunakan dalam belajar aljabar dengan memisalkan bilangan itu sebagai xy oleh individu pembelajar tanpa banyak kesulitan. Namun dengan begitu maka aspek sensitivity tidak dapat terlihat dari jawabannya. Tetapi ketika masalah diselesaikan dengan strategi yang berbeda, misalnya;
􀂃 Melihat informasi yang terdapat pada soal, yang pertama bahwa bilangan tersebut merupakan kelipatan 7 yang terdiri atas dua angka, maka kemungkinannya adalah; 14, 21, 28, 35, 42, 49, 56, 63, 70, 84, 91 (Pada tahap ini kepekaan dapat terlihat ketika menggali informasi kemudian mencoba mengolahnya)
􀂃 Berdasarkan informasi selanjutnya yaitu ”bila angka tersebut ditukarkan bilangan yang terjadi 18 lebih dari jumlah dua angka tersebut maka yang mungkin adalah bilangan; 21, 42, 63 dan 84 lalu dengan informasi terakhir dengan menukar dan melihat jumlah kedua angka penyusunnya akan diperoleh bilang 42 yang jika angkanya ditukar tempat menjadi 24.
􀂃 Pada proses yang terjadi di atas dilibatkan pula proses intuisi, yaitu ketika individu menduga bahwa bilangan tersebut berada di antara sekian banyak bilangan yang terdapat dalam daftar yang sudah dibuatnya.
Ketika masalah diselesaikan dengan strategi tersebut di atas maka tentu saja proses berpikir yang terlibat tidak prosedural belaka, tetapi sudah dapat dikategorikan sebagai berpikir kreatif. Permasalahan tersebut masih memungkinkan untuk diperluas, dengan mengajukan pertanyaan seperti ”Apakah ada cara lain?” guru memiliki peranan penting di dalam kelas untuk dapat memperluas masalah sehingga proses berpikir tidak terhenti dan berkembang ke level yang lebih tinggi.
Proses berpikir yang demikian itu, sesungguhnya harus terjadi di dalam kelas-kelas matematika. Kelas-kelas matematika yang dapat memunculkan situasi sedemikian yang mendorong berlangsungnya proses berpikir dengan baik, disebut sebagai suatu konsep Mathematical Thinking classroom. Berikut ini disajikan suatu skema sederhana mengenai proses dalam mathematical thinking classrom
Classroom Thinking
Ciptakan situasi
Pertanyaan
Masalah
Intervensi kognitif
Diskursus Matematik
Siswa
• Berpikir Creative
• Berpikir Kritis
• Berpikir Reflective
Untuk dapat menciptakan suatu situasi demikian, guru tidak boleh berpandangan bahwa matematika hanya sekedar kumpulan fakta-fakta dan prosedur saja serta hubungan-hubungannya melainkan seperti yang diungkapkan oleh Schoenfield (1992), yaitu bahwa situasi sedemikian sangat bergantung pada konsep guru (belief) tentang matematika. Hal yang sama diungkapkan oleh Thompson (1992) bahwa terdapat hubungan diantara belief dari guru dan praktek pembelajaran yang mereka terapkan di kelas. Briggs dan Davis (2008) mengungkapkan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru lambat laun dapat menyebabkan guru menjadi seorang pribadi yang terikat pada rutinitas. Jika pembelajaran tidak bervariasi dan tidak membuat orang berpikir maka merupakan suatu proses yang monoton, sehingga tidak muncul sesuatu yang baru sebagai dampak kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Hal yang perlu diingat bahwa seorang guru matematika seyogiyanya adalah seorang yang akan selalu belajar, dalam arti bahwa ia akan selalu berpikir. Karena itu sangat dibutuhan bahwa ia memiliki ketrampilan berpikir untuk nanti ia dapat menciptakan suatu mathematical thinking classroom.
Penutup
Mathematical thinking classroom memerlukan kesiapan dari guru matematika maupun siswa atau mahasiswa. Peranan guru matematika untuk menghadirkan mathematical thinking classroom harus lebih disadari dan diberdayakan. Karena itu pembentukan belief serta kemampuan pedagogik guru serta penguasaan kontent matematika yang memadai yang dapat mengakomodasi mathematical thinking classroom harus diupayakan. Guru perlu menerapkan model serta strategi yang tepatserta menata kurikulum yang sesuai untuk memunculkan thinking classroom, dan ditunjang dengan fasilitas yang memadai untuk terciptanya mathematical thinking classroom.
Daftar Pustaka
Briggs, M & David, S. (2008). Creative Teaching: Mathematics in the Early Years and Primary Classroom. Roudledge, New York.
Bruner, L. (1973). Going Beyond the Information Given. New York: Norton
Evans, J.R. (1991). Creative Thinking in The Decision and Management Sciences. Cincinnati, Ohio: South Western Publishing Co.
Fisher, R. (1990). ”Teaching for Thinking: Language and Maths” and ”Teaching for Thinking Across The Curriculum”, chapter in Teaching Children to Think”. Oxford: Basil Blackwell.
Glazer, E. (2001). Using WebSource to Promote Critical Thinking in High School Mathematics. [Online]. Tersedia: http://math.unipa.it/~grim/Aglazer79-84.pdf.
Gravemeijer, K.P.E (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Freudenthal Institution, Utrecht.
Gravemeijer, K. (1999). How Emergent Models May Foster the Constitution of Formal Mathematics. Dalam English, 1999. Mathematical Thinking and Learning. Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. New Jersey.
Mason. J, Burton.L, dan Stacey.K ( 1999). Thinking Mathematically. New York: Addison Wesley Publishing Company.
Sabandar, J. (2008). Pembelajaran Matematika Sekolah dan Permasalahan Ketuntasan Belajar Matematika. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Pendidikan Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Schneider. D.J. (1999). The Belief Machine. Dalam English, 1999. Mathematical Thinking and Learning. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Shafer, M.C, dan Foster, S. (1997). The Changing Face of Assessment. Tersedia
Sternberg, R.J., Roediger. H.L dan Halpren, D.F.(2007). Critical Thinking in Psychology. Cambridge, University Press.
Schoenfield, A.H. (1992). Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, and Sense Making in Mathematics.
Tall, D. (2002). Curriculum Design in Advanced Mathematical Learning dalam Advanced Mathematical Thinking. Kluwer Academic Publisher.
Introducing The Thinking Classroom. [Online]. diakses tanggal 26 Mei 2009.
Tersedia : http://learnweb.harvard.edu/ALPS/thinking/intro.cfm